Post by super on Sept 8, 2006 13:54:30 GMT -1
SYARI’AH ISLAM
Jalan Tunggal Menuju Kemerdekaan Hakiki
Jauh sebelum kewujudan negara-bangsa (nation state) menjadi trend di atas permukaan bumi, gagasan kemerdekaan negara-bangsa dimulai dari Eropah. Pada abad ke-17, negara-bangsa yang merdeka dan berdaulat belum wujud. Setiap kota atau kerajaan berada di bawah perwalian pangeran atau bangsawan. Para bangsawan dan penguasa feudal ini pada gilirannya berada di bawah pengaruh pendeta setempat dan Paus Suci Rom. Pembebasan negara-negara dari hegemoni gereja Katolik dan Paus bererti pembebasan dirinya dari hegemoni inkuisisi yang menakutkan, dengan pemikiran yang bebas dan ilmiah.
Renaisance Eropah inilah yang memunculkan pemikir-pemikir seperti Machiaveli, Martin Luther, Calvin, Rousseau, Voltaire, Montesquieu, Smith dan Ricardo. Renaisance ini pula yang meretas jalan perubahan masyarakat Eropah menuju kebebasan dalam beragama, berseni, berbudaya, hingga bersosial, berekonomi dan berpolitik. Revolusi Perancis melalui Declaration des droits de l'homme et du citoyen dan revolusi industri di Britain menjadi rentetan dari perjalanan perjuangan kebebasan ini.
Masa selanjutnya, tahun 1870, dapat dikatakan sebagai period awal kelahiran imperialisme. Istilah imperialisme dimaksudkan untuk menjelaskan penyebaran Kapitalisme Britain, yang kemudian diikuti oleh negara-negara Eropah lainnya ke seluruh dunia pada abad ke-19.
Kapitalisme Bertopeng Kemerdekaan
Malaysia termasuk dalam wilayah yang dicengkam oleh kekuatan Kapitalisme antarabangsa. Eksploitasi imperialisme- kolonialisme menghancurleburkan bangsa terjajah kerana semua sumber alamnya telah disedut keluar untuk menghidupkan "Wealth of Nations"-nya bangsa-bangsa penjajah. Hasilnya, pemberontakan terhadap belenggu penjajahan ini muncul dalam diri bangsa terjajah, yang mengganggu proses penghisapan oleh para negara imperialis. Kerana itu, untuk menekan tingginya matawang sosial yang ditimbulkan oleh pemberontakan tersebut, muncullah 'polisi' untuk 'memerdekakan' bangsa-bangsa terjajah.
Pada tahun 1939, Britain, Perancis dan Belanda bersepakat untuk secara perlahan-lahan membiarkan negara-negara jajahan 'menentukan nasibnya sendiri'. John F Dulles, salah seorang Menteri Luar AS menyatakan tentang taktik ini:
"Kalau negara Barat berusaha mempertahankan daerah jajahannya seperti cara yang sudah ada, maka dapat dikatakan bakal terjadinya pemberontakan bersenjata, dan Barat pasti kalah. Jadi, satu-satunya strategi yang mungkin berhasil adalah dengan cara damai memberikan 'kemerdekaan yang terhormat' kepada 700 juta jiwa manusia yang berada di bawah kekuasaan penjajahan Barat."
Hasilnya, diantara 1921-1967 muncul tren 'kemerdekaan' negara-negara bangsa di dunia, termasuk di dalamnya Malaysia pada tahun 1957. Proklamasi Kemerdekaan ini tampaknya telah benar-benar menandakan berakhirnya kolonialisme dan mengawali kebebasan yang dicita-citakan bangsa Malaysia. Namun, jika difikir secara jernih, maka hal tersebut hanyalah sebuah bayangan yang maya, kerana situasi realtii justeru membuktikan yang sebaliknya. Dekolonisasi (i.e. kemerdekaan) bukanlah pengakhiran dari penjajahan yang sesungguhnya. Penjajahan hanya bersembunyi di balik topeng kemerdekaan.
Imperialisme sebagai metod khas dari Kapitalisme untuk melebarkan dan menancapkan hegemoninya terus menguasai negara-negara terjajah, termasuk bekas wilayah Khilafah Ustmaniyah. Britain, misalnya, terus berusaha mempertahankan imperiumnya yang dikatakan bahawa 'matahari tidak pernah tenggelam di Britania Raya' mulai dari Kanada, Australia, Selandia Baru hingga Afrika Selatan. Namun, Britain gagal 'mengendalikan' Amerika Utara. Amerika Syarikat lahir dari keseriusan para pemikir pengasasnya yang memiliki kekuatan ideologis untuk lepas dari kolonialisme Britain. Hasilnya, lahirlah Declaration of Independence, dan Amerika Syarikat muncul sebagai kuasa Kapitalisme baru yang mampu berjaya menggunakan pencerobohan fizikal dan non-fizikal.
Saat ini pencerobohan fizikal dalam kekuatan militer dikerahkan kembali di Afghanistan dan Iraq. Adapun pencerobohan non-fizikal dalam tataran ideologi, budaya, ekonomi, pendidikan, sosial dan politik dijalankan oleh ejen-ejen mereka dengan berlatarkan lembaga antarabangsa iaitu PBB, Bank Dunia, IMF dan WTO, serta korporat-korporat transnasional. Hal ini sudah menjadi pemahaman para intelektual yang mahu berfikir jernih, termasuk para pemikir Barat. Joseph E Stiglitz, peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2001, dalam Globalization and Its Discontents (2002), menegaskan bahawa IMF meletakkan kepentingan pemegang saham terbesar (Amerika Syarikat) di atas kepentingan negara-negara miskin yang justru seharusnya ia bantu. Sementara itu, John Perkins dalam Confessions of an Economic Hit Man (2004) menerangkan sebuah istilah baru, yakni korporatokrasi, yang digambarkan sebagai pemerintahan yang dikendalikan oleh "perusahaan besar, bank antarabangsa dan pemerintah"; ertinya pemerintahan tersebut tunduk di bawah tekanan korporasi, atau bahkan berkedudukan sebagai pelaku korporat yang mengeluarkan polisi dengan mengikuti kaedah ekonomi kapitalis yang hanya menguntungkan korporasinya. Intinya masih sama, penjajahan oleh Kapitalisme masih terus berlangsung di seluruh dunia, termasuk di Malaysia.
Syariah Islam Mewujudkan Cita-cita Kemerdekaan
Herman Finer, dalam Theory and Practice of Modern Government, menamakan undang-undang dasar sebagai 'riwayat hidup suatu hubungan kekuasaan'. Lalu bangsa Malaysia yang telah lama menantikan datangnya kemerdekaan memulai undang-undang dasarnya pada dengan perenggan,
"Bahawa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan…"
Namun, walaupun perlembagaan ini, sesungguhnya hingga kini Malaysia masih terjajah, disintegrasi terus menggejala, kedaulatan diinjak-injak, dan adil makmur masih jauh dari mata. Dengan kata lain, cita-cita kemerdekaan dengan ciri-ciri negara yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur masih sekadar konsepsi pada masa konstitusi ini digubal. Kapitalisme yang mendominasi pencapaian cita-cita kemerdekaan tersebut selama kurun waktu 61 tahun ini terbukti mandul dan gagal mewujudkan kemerdekaan yang hakiki. Demikian pula dengan Sosialisme yang sempat membua pesat pada masa tahun 1955-1965.
Dengan demikian, tinggal syariah Islam, yang kini telah menjadi aspirasi silent majority, diberikan kesempatan untuk meretas jalan menuju cita-cita kemerdekaan tersebut.
Cita-cita 1: Bersatu
Kaum Muslim adalah umat yang satu, yang berbeza dengan umat lainnya. Allah Subhanahu wa ta’ala telah menyatukan kaum Muslim dengan kesatuan akidah dan keimanan. Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam telah berhasil meleburkan ikatan kesukuan dan sekat kebangsaan dalam ikatan keislaman, yang menyatu dengan jiwa setiap Muslim sebagai sebuah ideologi. Rasul pun berhasil menerapkan sistem dan hukum syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan mulai dari berdirinya negara Madinah hingga berlanjut pada masa Khulafaur Rasyidin, Khilafah Umayah, Abbasiyah dan Utsmaniyah. Nusantara dengan Kesultanan Islam Pasai, Demak, Melaka, Banten, Gowa, Ternate, Tidore, Banjar dll memiliki hubungan yang erat dengan Khilafah Utsmaniyah. Wilayah Malaysia termasuk di dalamnya Aceh, Papua dan Maluku adalah negeri-negeri Islam yang bergabung dengan kekuasaan Islam tanpa peperangan sehingga tanahnya termasuk dalam tanah 'usriyah (ardlu al-usyriyah). Kerana itu, lepasnya sebuah wilayah Malaysia adalah sebuah usaha separatisme (i.e. bughat) yang diharamkan. Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan:
Siapa saja yang datang kepada kalian, sedangkan urusan kalian berada di tangan seseorang (Khalifah), kemudian ia hendak memecah-belah kesatuan jamaah (Khilafah) kalian, maka bunuhlah ia. (HR Muslim)
Jelas sudah bahawa syariah Islam menjamin keutuhan dan kesatuan Malaysia, bahkan mempersatukan negeri-negeri lainnya. Hal ini bukan sesuatu yang mustahil, seperti kesatuan Jerman, Eropah dan negara-bangsa lain.
Cita-cita 2: Berdaulat
Syariah Islam akan menjadikan Malaysia menjadi negara yang berdaulat dan berwibawa. Dalam persoalan kedaulatan politik, syariah Islam memiliki konsep politik yang mendasari hubungan luar negeri dengan negara, bangsa dan umat lainnya dengan usaha menyebarkan Islam sebagai rahmat atas seluruh alam. Syariah Islam mewajibkan negara menjalankan tugas-tugas politik, di antaranya berkaitan dengan pemberian informasi yang jelas tentang Islam, menyebarkan fikiran-fikiran Islam, dan berusaha menyampaikan hukum-hukum Islam kepada seluruh manusia sehingga mereka memperoleh pemahaman yang di dalamnya ada jaminan hukum yang dapat menyelamatkan mereka. Terhadap konspirasi negara atau bangsa yang menghalangi disebarkannya syariah Allah maka Allah memerintahkan untuk memerangi mereka (lihat: QS at-Taubah [9]: 29).
Dengan modal ketakwaan kepada Allah inilah negara menjadi perkasa dan berani menghadapi campurtangan asing. Bahkan, justru para penjajahlah yang menjadi gentar sebagaimana digambarkan Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam (yang ertinya):
Aku ditolong dengan rasa ketakutan (yang bisa dirasakan musuh) dari jarak satu bulan perjalanan.
Cita-cita 3: Adil dan Makmur
Syariah Islam memandang sama kedudukan warga negara. Islam telah menghapus pemikiran kuno yang menuntut manusia berpihak pada kerabatnya sekalipun ia seorang penindas. Syariah Islam memperlakukan warga negara yang terdiri dari kaum Muslim dan non-Muslim (ahlul dzimmah) dengan hak dan kewajiban yang sama. Kaum dzimmah ini tidak memerangi kaum Muslim dan tunduk atas hukum-hukum Islam (muamalah dan 'uqûbât) yang diterapkan, kecuali dalam urusan akidah dan ibadah yang dibebaskan bagi mereka. Hal ini seperti digambarkan Thomas of Marga's dalam Book of Governors (1893) tentang keberadaan gereja dan sinagog dalam wilayah pemerintahan Islam. Kaum dzimmah ini hanya diwajibkan membayar jizyah yang jumlahnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan cukai yang ditarik oleh pemerintahan kapitalis dalam sistem sekular saat ini. Itupun jika mereka mampu membayarnya. Jika tidak, negara akan memberikan perkhidmatan/ pelayanan. Perlindungan syariah Islam atas kaum dzimmah ini jelas pada sabda Rasul Sallallahu ‘alaihi wa sallam:
Siapa saja yang membunuh jiwa yang terikat dengan dzimmah Allah dan Rasul-Nya bererti ia telah memutuskan dzimmah Allah sehingga ia tidak akan mencium bau syurga, padahal bau syurga itu sudah tercium pada jarak sejauh perjalanan tujuh puluh musim gugur. (HR at-Tirmidzi) .
Keadilan bukan sekadar lip service dalam syariah Islam, kerana Allah telah memerintahkan manusia, khususnya penguasa, untuk berbuat adil (lihat: QS an-Nisa' [4]: 58; al-Maidah [5]: 8).
Dalam hal kemakmuran, kedaulatan ekonomi akan didapati di Malaysia. Negara mengatur muamalah dan memelihara seluruh urusan masyarakat sesuai dengan hukum Islam. Kepemilikan individu dijamin perolehan dan keamanannya oleh negara. Kepemilikan umum atas sumberdaya yang menguasai hajat hidup orang banyak dikelola oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Segala bentuk penswastaan dan penjualan aset-aset negara kepada asing tidak akan pernah dilakukan oleh negara, kerana kemakmuran rakyat dan kebahagiaan masyarakat (bonum publicum) menjadi tujuan negara. Negara sangat menyayangi rakyatnya sehingga distribusi kekayaan akan menjadi perhatian utama. Pemenuhan keperluan-keperluan pokok menyangkut makan, pakai, residensi, kesihatan dan pendidikan akan diseriusi oleh negara. Hal ini terjadi kerana pemimpin negara sedar dan faham akan hadis Nabi Sallallahu ‘alaihi wa sallam:
Pemimpin manusia adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang diurusnya. (HR Muslim).
Dengan melihat kemampuan syariah Islam dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan tersebut, tentu naif jika masih ada keengganan untuk menerapkannya. Renungilah kejayaan syariah Islam membawa umat menuju cita-cita kemerdekaan ini dapat dilihat dalam sistem Khilafah yang telah memerdekaan manusia selama lebih dari 13 abad. Gustav E. Von Grunebaum (1962) dalam Medieval Islam (Islam di Abad Pertengahan) menyatakan:
Islam adalah masyarakat dengan keyakinan kepada Allah yang hidup dalam kehidupan. Islam adalah pusat dan tujuan dari praktik spiritualnya. Namun, bukan hanya itu, Islam adalah pemimpin dunia dengan aturan dan pemerintahannya. Islam adalah alasan bagi kewujudan negara; dia adalah prinsip dari kesatuan (staatsgedanke) , dengan menjunjung tinggi keberlanjutan kesejahteraan yang berkeadilan.
Inilah bukti, syariah Islamlah jalan tunggal untuk merengkuh cita-cita kemerdekaan itu.
Wallâh a'lam bissawâb.
Daftar Bacaan
Ahmed, S. dan A. Karim. 1997. The Roots of Nationalism in the Muslim World (terj.). Penerbit Al Izzah. Bangil.
Al-Maliki, A. 2001. As-Siyasatu al-Iqtishadiyatu al-Mutsla (terj.). Penerbit Al Izzah. Bangil.
An-Nabhani, T. 2002. Ad-Daulah Al-Islamiyah 6th-edition (Mu'tamadah) . Penerbit Darul Ummah. Beirut. Libanon.
An-Nadwi, Abu Hasan Ali. 1987. Islam and The World (terj.). Penerbit Angkasa. Bandung.
Bamualim, C.S. et al. (ed.). 2003. Islam and the West, Dialogue of Civilizations in Search of a Peaceful Global Order. Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta.
Budiardjo, M. Prof. 1999. Dasar-dasar Ilmu Politik. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Fredericks, S. 2004. Political and Cultural Pencerobohanon (terj.). Penerbit Pustaka Thariqul Izzah. Bogor.
Grunebaum, G.E. 1962. Medieval Islam, A Study in Cultural Orientation. Phoenix Books. The University of Chicago Press. Chicago, Illinois, USA.
Khudori. 2004. Neoliberalisme Menumpas Petani, Menyingkap Kejahatan Industri Pangan. Penerbit Resist Book. Yogyakarta.
Kurzman, C. (ed.). 2001. Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global. Penerbit Paramadina. Jakarta.
Perkins, J. 2004. Confessions of an Economic Hit Man. Plume. USA.