Post by khalid bin lukman on Mar 5, 2006 3:14:06 GMT -1
Pendapat Para Ulama Mengenai
Kewajiban Mengangkat Khalifah
Kini, kepada Anda, wahai saudaraku sesama Muslim di segala penjuru bumi Allah, akan kami sampaikan sebagian pendapat para ulama terkemuka—baik ulama dulu maupun ulama sekarang—mengenai kewajiban mengangkat seorang khalifah Muslim yang berkewajiban mengelola urusan kaum Muslim.
1. Imam Al-Mâwardî, dalam bukunya, Al-Ahkâm ash-Sulthâniyyah, halaman 5, menyatakan, “Mengadakan akad Imamah (Khilafah) bagi orang yang menegakkannya di tengah-tengah umat merupakan kewajiban yang didasarkan pada Ijma Sahabat.”
2. Imam Al-Mâwardî, masih dalam bukunya, Al-Ahkâm ash-Shultâniyyah, juga menyatakan, “Mengangkat seorang imam (khalifah) yang akan menjadi penguasa urusan dunia dan pemimpin umat adalah sebuah kewajiban. Dengan itu, agama dapat terjaga dan kekuasaannya berjalan sesuai dengan hukum-hukum agama.”
3. Abu Ya‘lâ al-Farrâ’, dalam Al-Ahkâm ash-Sulthâniyyah, halaman 19, menyatakan:
Mengangkat seorang imam adalah wajib. Imam Ahmad r.a., menurut riwayat Muhammad ibn ‘Auf ibn Sufyân al-Hamshî, telah berkata, “Adalah fitnah (bencana) jika sampai tidak ada seorang imam (khalifah) yang mengatur urusan rakyat.” Imam Asy-Syaukânî dalam Nayl al-Authhâr jilid 8, halaman 265, mengatakan, “Menurut golongan Syi‘ah, mayoritas Mu‘tazilah, dan Asy‘ariyah, Khilafah adalah kewajiban syariat.”
4. Ibn Taymiyah, dalam As-Siyâsah asy-Syar‘iyyah, halaman 161, menyatakan:
Upaya menjadikan kepemimpinan (Khilafah) sebagai bagian dari agama dan sarana untuk ber-taqarrub kepada Allah adalah sebuah kewajiban. Taqarrub kepada-Nya dalam kepemimpinan itu, yaitu dengan menaati Allah dan Rasul-Nya, termasuk ke dalam taqarrub yang paling utama. Faktor yang dapat merusak keadaan banyak orang dalam kepemimpinan itu tidak lain adalah sikap mencari kekuasaan dan harta semata.
Ibn Taymiyah, di dalam Majmû‘ al-Fatâwâ, jilid 28, halaman 62, juga menyatakan demikian:
Setiap anak Adam tidak akan sempurna kemaslahatannya di dunia dan akhirat, kecuali dengan senantiasa berkumpul, tolong-menolong, dan bantu-membantu; yakni dalam memperoleh kemanfaatan dan menolak kemadaratan. Oleh karena itu, manusia, menurut watak alamiahnya, dikatakan sebagai makhluk sosial. Jika mereka berkumpul, mereka pasti mempunyai berbagai urusan yang harus mereka kerjakan—untuk memperoleh kemaslahatan—dan berbagai urusan yang harus mereka hindari karena di dalamnya terkandung kemafsadatan. Mereka harus menaati seseorang (pemimpin) yang mengeluarkan perintah untuk mendapatkan kemanfaatan tersebut dan melarang mereka dari kemafsadatan itu. Oleh karena itu, seluruh anak Adam harus mempunyai orang yang berhak memerintah dan melarang.
5. Ibn Taymiyah, masih dalam As-Siyâsah asy-Syar‘iyyah, halaman 64, menyatakan:
Oleh karena itu, Nabi saw. memerintahan umatnya untuk mengangkat para penguasa (wulât al-umûr) atas mereka dan memerintahan para penguasa tersebut untuk menyampaikan berbagai amanat kepada yang berhak. Jika mereka menetapkan hukum di tengah-tengah manusia, mereka harus menetapkannya dengan adil. Allah juga telah memerintahkan umat manusia untuk menaati para penguasa tersebut dalam konteks ketaatan kepada Allah.
Dalam Sunan Abû Dâwud ada riwayat yang bersumber dari Abû Sa’îd yang menyatakan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
Jika ada tiga orang keluar dalam rangka melakukan suatu perjalanan, hendaklah salah seorang di antara mereka menjadi pemimpinnya.
Dalam Sunan yang sama juga terdapat riwayat yang semisal, yakni riwayat yang bersumber dari Abû Hurayrah.
Sementara itu, dalam Musnad Imâm Ahmad ada riwayat yang bersumber dari ‘Abdullâh ibn ‘Umar yang menyebutkan bahwa Nabi saw. juga pernah bersabda demikian:
Tidak halal bagi tiga orang yang ada di suatu tempat kosong di muka bumi, kecuali salah seorang di antara mereka menjadi pemimpinnya.
Jika dalam kelompok yang kecil dan terbatas saja Allah telah mewajibkan kaum Muslim untuk mengangkat seorang pemimpin, maka hal itu merupakan isyarat mengenai kewajiban mengangkat pemimpin untuk kelompok yang jauh lebih besar dari tiga orang. Atas dasar itu, kekuasaan (al-wilâyah)—bagi orang yang mengambilnya karena menjalankan agama dan menjadikannya sebagai sarana ber-taqarrub kepada Allah, sementara di dalamnya dia melaksanakan kewajiban sesuai dengan kemampuannya—adalah termasuk amal salih yang paling utama. Bahkan, Imam Ahmad, dalam Musnad-nya, meriwayatkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda sebagai berikut:
Sesungguhnya makhluk yang paling dicintai Allah adalah seorang imam (khalifah) yang adil. Sebaliknya, makhluk yang paling dibenci Allah adalah seorang imam (khalifah) yang zalim.
6. Ibn Taymiyah, dalam Majmû‘ al-Fatâwâ, jilid 28, halaman 297, menuturkan perkataan ‘Alî ibn Abî Thâlib r.a. sebagai berikut:
‘Alî ibn Abî Thâlib r.a., berkata, “Manusia harus mempunyai pemimpin (khalifah), entah yang baik ataupun yang buruk.” Lalu, ada yang berkata kepada beliau, “Amirul Mukminin, kalau yang baik, kami sudah mengetahuinya. Akan tetapi, bagaimana gerangan dengan seorang pemimpin yang zalim?” ‘Alî menjawab, “Asal dia tetap menjalankan hudûd, mengamankan jalan-jalan umum, berjihad melawan musuh, dan membagikan harta fai’.”
Oleh karena itu, sangat aneh dan janggal, bahwa kita saat ini tidak hidup di bawah seorang penguasa (khalifah), yang baik ataupun yang buruk; sementara hudûd telah ditelantarkan, jalan-jalan umum tidak lagi aman, dan jihad di negeri-negeri Islam telah dilalaikan. Sungguh celaka orang yang telah menyebabkan lahirnya keadaan ini!
7. Ibn Taymiyah, juga dalam Majmû‘ al-Fatâwâ, juz 28, halaman 390, menyatakan demikian:
Wajib diketahui bahwa kekuasaan untuk mengatur urusan manusia (wilâyah amr an-nâs) termasuk salah satu kewajiban agama terbesar. Bahkan, tanpa kekuasan tersebut, urusan agama dan dunia tidak akan bisa ditegakkan. Kemaslahatan manusia tidak akan sempurna kecuali dengan adanya interaksi di antara mereka karena adanya kebutuhan satu sama lain. Sementara itu, interaksi di antara mereka tentu mengharuskan adanya seorang pemimpin. Oleh karena itu, Nabi saw. sendiri, sebagaimana dituturkan oleh Abu Sa‘îd dan Abû Hurayrah, pernah bersabda demikian:
Jika ada tiga orang keluar untuk melakukan suatu perjalanan, hendaklah salah seorang di antara mereka menjadi pemimpinnya. (HR Abû Dâwud).
Sementara itu, Imam Ahmad, dalam Al-Musnad, menuturkan riwayat yang bersumber dari ‘Abdullâh ibn ‘Umar. Disebutkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda sebagai berikut:
Tidak halal bagi tiga orang yang ada di suatu tempat kosong di muka bumi, kecuali salah seorang di antara mereka menjadi pemimpinnya. (HR Ahmad).
Dengan demikian, Nabi saw. telah mewajibkan kaum Muslim untuk mengangkat seorang pemimpin, meskipun dalam kelompok yang kecil di dalam suatu perjalanan. Perintah Nabi saw. ini merupakan isyarat bahwa kaum Muslim wajib mengangkat seorang pemimpin bagi seluruh kelompok yang ada. Lebih dari itu, Allah Swt. sendiri telah mewajibkan aktivitas amar makruf nahi mungkar, sementara hal ini tidak akan terlaksana secara sempurna kecuali dengan kekuatan (quwwah) dan kepemimpinan (imârah). Demikian pula seluruh perkara yang telah diwajibkan oleh Allah kepada kaum Muslim seperti: jihad; menegakkan keadilan; melaksanakan ibadah haji, Jumatan, Idul Fitri, dan Idul Adha; menolong orang yang dizalimi; serta melaksanakan hudûd. Semua ini tidak akan sempurna kecuali dengan kekuatan (quwwah) dan kepemimpinan (imârah). Oleh karena itu, sering dikatakan, “Sesungguhnya kekuasaan itu adalah bayang-bayang Allah di muka bumi.” Sering pula dikatakan, “Enam puluh tahun hidup di bawah pimpinan Khalifah yang zalim masih lebih baik daripada hidup satu malam tanpa kekuasaan (Khilafah).”
Pengalaman telah membuktikan realitas seperti ini. Oleh karena itu, para ulama salaf—seperti Fudhayl ibn ‘Iyâdh, Ahmad ibn Hanbal, dan yang lainnya—pernah mengatakan, “Sekiranya kami mempunyai doa yang mustajab, niscaya kami akan berdoa dengan doa tersebut untuk Sultan (Khalifah).”
8. Ibn Khaldûn, dalam Al-Muqaddimah, halaman 167, menyatakan demikian:
Sesungguhnya mengangkat seorang imam (khalifah) adalah wajib. Kewajibannya dalam syariat telah diketahui berdasarkan Ijma Sahabat dan tâbi’în (generasi pasca sahabat). Ketika Rasulullah saw. wafat, para sahabat beliau segera membaiat Abû Bakar r.a. dan menyerahkan pertimbangan tentang berbagai urusan mereka kepadanya. Demikian pula yang dilakukan oleh kaum Muslim pada setiap masa setelah Abû Bakar. Oleh karena itu, pada setiap masa yang ada, tidak pernah terjadi kekacauan (anarkisme) di tengah-tengah umat manusia. Realitas semacam ini sekaligus merupakan ijma yang menunjukkan pada adanya kewajiban mengangkat seorang imam (khalifah).
9. Ibn Hazm, dalam Al-Fashl fî al-Milal wa al-Ahwâ’ wa an-Nihal, juz 4, halaman 87, menyatakan:
Seluruh kalangan Ahlus Sunnah, Murji‘ah, Syi‘ah, dan Khawarij telah bersepakat mengenai kewajiban adanya Imamah (Khilafah). Mereka juga telah bersepakat bahwa umat Islam wajib menaati seorang imam yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah mereka dan memimpin mereka dengan hukum-hukum syariat yang dibawa oleh Rasulullah. Hanya kelompok An-Najdât dari kalangan Khawarij yang menyatakan bahwa kefardhuan Imamah tidak mengikat manusia. Manusia, menurut mereka, hanya berkewajiban untuk menunaikan hak dan kewajiban di antara mereka.
10. Imam al-Qurthubî, dalam tafsirnya, juz 1, halaman 264, telah menyatakan demikian:
Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban tersebut (yakni mengangkat Khalifah) di kalangan umat Islam dan para imam mazhab, kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-‘Asham—yang tuli (‘asham) terhadap syariat—dan siapa saja yang menyuarakan pendapatnya atau mengikuti pendapat dan mazhabnya.
11. Al-Haytsamî, dalam Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, halaman 17, menyatakan demikian:
Ketahuilah bahwa para sahabat—ridlwânullâh ‘alayhim—telah berijma (bersepakat) bahwa mengangkat imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman nubuwwah (kenabian) adalah wajib. Mereka bahkan menjadikannya sebagai kewajiban terpenting. terbukti, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban tersebut seraya menunda penguburan jenazah Rasulullah saw.
12. An-Nawawî, dalam Syarh Muslim, juz 12, halaman 205, menyatakan, “Mereka (para imam mazhab) telah bersepakat bahwa kaum Muslim wajib mengangkat seorang khalifah.”
13. Al-Jurjânî menyatakan, “Mengangkat imam (khalifah) termasuk ke dalam kemaslahatan terpenting kaum Muslim dan tujuan agama yang terbesar.”
14. Imam al-Haramayn, dalam kitabnya, Ghiyâts al-Umam, menyatakan, “Telah terdapat ijma tentang kewajiban mengangkat khalifah yang mengatur (kehidupan) manusia dengan Islam.”
15. Al-Ijî, dalam Al-Mawâqif, dan pensyarahnya, al-Jurjânî, menyatakan demikian:
Sesungguhnya telah dituturkan secara mutawâtir ijma (konsensus) kaum Muslim pada generasi pertama setelah wafatnya Nabi saw. yang menyatakan bahwa zaman tidak boleh kosong dari seorang imam (khalifah). Oleh karena itu, Abû Bakar r.a., dalam khutbahnya yang termasyhur saat wafatnya Rasulullah saw., berkata, “Perhatikanlah, sesungguhnya Muhammad telah wafat, sementara agama ini, tidak boleh tidak, harus ada yang menegakkannya.”
Seluruh sahabat kemudian segera menerima seruannya dan meninggalkan hal yang sangat penting lainnya, yaitu menguburkan jenazah Rasulullah saw. Kaum Muslim tetap menjalankan kewajiban ini pada setiap masa sampai masa kita sekarang ini, yaitu kewajiban mengangkat seorang imam (khalifah) yang ditaati untuk setiap masa.
16. Dr. Dhiyâ’uddîn ar-Rays dalam bukunya, Al-Islâm wa al-Khilâfah, halaman 99, menyatakan demikian:
Walhasil, Khilafah menempati kedudukan terpenting dalam agama dan selalu diperhatikan oleh kaum Muslim. Syariat Islam telah menetapkan bahwa mendirikan Khilafah adalah salah satu kewajiban mendasar di antara kewajiban-kewajiban agama lainnya, bahkan merupakan kewajiban terbesar (al-fardh al-a‘zham), karena di atas kekhilafahanlah bertumpu pelaksanaan seluruh kewajiban lainnya.
17. Dr. Dhiyâ’uddîn ar-Rays, dalam bukunya tersebut, halaman 341 juga menyatakan demikian:
Sesungguhnya para ulama di kalangan kaum Muslim telah berijma, sebagaimana kita ketahui sebelumnya, bahwa Khilafah atau Imamah adalah satu kewajiban mendasar di antara kewajiban-kewajiban agama yang ada. Bahkan, Khilafah/Imamah adalah kewajiban terbesar (al-fardh al-a‘zham), karena di atasnyalah bertumpu pelaksanaan seluruh kewajiban lainnya dan perwujudan berbagai kemaslahatan umum bagi kaum Muslim.
Oleh karena itu, mereka menamakan kedudukan ini dengan Al-Imâmah al-‘Uzhmâ (Kepemimpinan Agung) sebagai pembanding Imâmah ash-Shalâh (Keimaman dalam Shalat) yang disebut dengan Al-Imâmah ash-Shugrâ (Kepemimpinan Kecil). Ini adalah pendapat Ahlusunnah wal Jamaah yang merupakan mayoritas terbesar kaum Muslim. Artinya, pendapat ini adalah pendapat para mujtahid besar, yaitu Imam yang Empat—Imam Abû Hanîfah, Imam Mâlikî, Imam asy-Syâfi’î, dan Imam Ahmad—serta para ulama lainnya seperti Imam al-Mawardî, Imam al-Juwaynî, Imam al-Ghazâlî, Imam ar-Râzî, at-Taftazanî, Ibn Khaldûn, dan lain-lain. Dari merekalah kaum Muslim mengambil pemahaman agama. Kita telah mengetahui berbagai dalil dan bukti yang telah mereka jadikan sandaran dalam hal wajibnya Khilafah.
Sementara itu, golongan Syi‘ah menilai Imamah lebih dari itu. Mereka memandang bahwa Imamah bukan sekadar wajib, bahkan merupakan rukun agama dan dasar keimanan. Artinya, keimanan tidak dianggap sah, kecuali dengan adanya Imamah. Dengan demikian, Khilafah, menurut kaum Muslim, ada yang menganggapnya fardhu dan ada pula yang menganggapnya sebagai rukun akidah. Inilah hakikat ilmiah keagamaan yang tidak diperbantahkan lagi.
18. ‘Abdurrahmân ‘Abdul Khâliq, dalam bukunya, Asy-Syûrâ, halaman 26, menyatakan demikian:
Imamah Umum (Al-Imâmah al-Ammah) atau Khilafah adalah institusi yang dibebani tugas untuk menegakkan syariat Allah Swt., memutuskan hukum dengan Kitab-Nya (al-Quran), menjalankan urusan kaum Muslim, memperbaiki keadaan mereka, dan melancarkan jihad terhadap musuh mereka. Tidak ada perbedaan pendapat lagi di antara kaum Muslim mengenai kewajiban Khilafah dan keharusan keberadaannya. Mereka semua berdosa jika lalai dari upaya untuk mendirikannya.
19. Abû Ya’lâ, dalam Al-Ahkâm ash-Sulthâniyyah, halaman 19, menyatakan demikian:
Khilafah adalah fardhu kifayah yang dipikulkan kepada 2 (dua) golongan manusia: (1) Ahlul Ijtihad (para mujtahid) hingga mereka berhasil memilih (seseorang sebagai khalifah); (2) Orang-orang yang memenuhi syarat Imamah hingga salah satu dari mereka diangkat sebagai imam.
20. ‘Abdul Qâdir ‘Audah, dalam bukunya, Al-Islâm wa Awdha’unâ as-Siyâsiyah, halaman 124, menyatakan demikian:
Khilafah dapat dianggap sebagai satu kewajiban di antara fardlu-fardlu kifayah, seperti halnya jihad dan peradilan (qadhâ’). Jika kewajiban ini telah dilaksanakan oleh orang yang memenuhi syarat, maka gugurlah kewajiban ini dari seluruh kaum Muslim. Akan tetapi, jika tidak ada seorang pun yang melaksanakannya, maka seluruh kaum Muslim berdosa hingga orang yang memenuhi syarat dapat melaksanakan kewajiban Khilafah ini.
Sebagian ulama berpendapat bahwa dosa hanya menimpa dua golongan saja dari kalangan kaum Muslim: (1) Ahlur Ra’yi (para ulama dan intelektual) hingga mereka mengangkat salah seorang dari kaum Muslim sebagai khalifah; (2) Orang-orang yang telah memenuhi syarat sebagai khalifah hingga seorang dari mereka terpilih sebagai khalifah.
Pendapat yang benar adalah bahwa dosa menimpa seluruh kaum Muslim. Alasannya, seluruh kaum Muslim telah menjadi sasaran seruan (khithâb) dari syariat, dan mereka berkewajiban untuk menegakkannya.…
Jika pemilihan (khalifah) ini diserahkan kepada satu golongan di kalangan umat Islam, maka kewajiban seluruh umat adalah mendorong golongan tersebut untuk menunaikan kewajibannya. Jika tidak, umat turut memikul dosanya....
21. Sulaymân ad-Dîjî, dalam bukunya, Al-Imâmah al-‘Uzhmâ, halaman 75, menyatakan demikian:
Benar, tidak ada keraguan lagi, bahwa kewajiban mengangkat seorang khalifah dibebankan atas dua golongan, yang lebih berat daripada selain dua golongan tersebut. Akan tetapi, jika kedua golongan tersebut tidak melaksanakan kewajiban ini, maka dosanya menimpa semua orang. Inilah pengertian dari hukum mendirikan Khilafah yang besifat fardhu kifayah. Artinya, jika sebagian kaum Muslim sudah melaksanakannya, maka kewajiban tersebut gugur dari sebagian lainnya. Akan tetapi, jika tidak ada seorang pun yang melaksanakannya, maka semuanya berdosa; seperti kewajiban amar makruf nahi mungkar, jihad, menuntut ilmu, dan sebagainya....
Saat ini, kedua golongan tersebut telah melalaikan pelaksanaan kewajiban ini, atau telah mengikuti apa yang dikehendaki oleh hawa nafsu mereka. Oleh karena itu, hukumnya menjadi fardhu ‘ain atas setiap individu Muslim—sesuai dengan kemampuannya masing-masing—untuk berjuang menegakkan Khilafah Islamiyah yang menyeluruh. Khilafah inilah yang akan mempersatukan kaum Muslim di bawah bendera tauhid yang benar; yang akan mengembalikan bagi agama ini kehebatan dan kepemimpinannya; serta yang akan mengembalikan bagi kaum Muslim negara dan posisi mereka yang telah hilang akibat kelalaian mereka dalam menegakkan kewajiban yang agung ini. Allahlah Tempat Memohon.
22. Dr. Mahmûd al-Khâlidî, dalam bukunya, Qawâ‘id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, halaman 248, menyatakan demikian:
Tidak ada kehinaan yang menimpa kaum Muslim—yang menjadikan mereka hidup di pinggiran dunia, mengekor berbagai umat, dan terbelakang dalam sejarah—kecuali kelalaian mereka dalam berjuang untuk mendirikan Khilafah dan tidak segeranya mereka untuk mengangkat seorang khalifah bagi mereka. Ini semata-mata karena adanya kewajiban untuk berpegang dengan hukum syariat yang telah menjadi perkara yang ma‘lûm min ad-Dîn bi ad-dharûrah (diketahui secara pasti sebagai bagian dari ajaran agama Islam) seperti halnya shalat, shaum, dan haji. Oleh karena itu, melalaikan tugas untuk melanjutkan kehidupan Islam adalah sebuah kemaksiatan yang terbesar. Atas dasar itu, mengangkat seorang khalifah bagi kaum Muslim adalah fardhu dan merupakan keharusan dalam rangka menerapkan hukum-hukum syariat atas kaum Muslim dan mengemban dakwah Islam ke seluruh pelosok dunia.
Saya kira, nukilan-nukilan pendapat ini telah cukup meyakinkan bagi orang yang mempunyai hati atau yang mempunyai pendengaran, sementara dia menyaksikan segala sesuatunya. []
Kewajiban Mengangkat Khalifah
Kini, kepada Anda, wahai saudaraku sesama Muslim di segala penjuru bumi Allah, akan kami sampaikan sebagian pendapat para ulama terkemuka—baik ulama dulu maupun ulama sekarang—mengenai kewajiban mengangkat seorang khalifah Muslim yang berkewajiban mengelola urusan kaum Muslim.
1. Imam Al-Mâwardî, dalam bukunya, Al-Ahkâm ash-Sulthâniyyah, halaman 5, menyatakan, “Mengadakan akad Imamah (Khilafah) bagi orang yang menegakkannya di tengah-tengah umat merupakan kewajiban yang didasarkan pada Ijma Sahabat.”
2. Imam Al-Mâwardî, masih dalam bukunya, Al-Ahkâm ash-Shultâniyyah, juga menyatakan, “Mengangkat seorang imam (khalifah) yang akan menjadi penguasa urusan dunia dan pemimpin umat adalah sebuah kewajiban. Dengan itu, agama dapat terjaga dan kekuasaannya berjalan sesuai dengan hukum-hukum agama.”
3. Abu Ya‘lâ al-Farrâ’, dalam Al-Ahkâm ash-Sulthâniyyah, halaman 19, menyatakan:
Mengangkat seorang imam adalah wajib. Imam Ahmad r.a., menurut riwayat Muhammad ibn ‘Auf ibn Sufyân al-Hamshî, telah berkata, “Adalah fitnah (bencana) jika sampai tidak ada seorang imam (khalifah) yang mengatur urusan rakyat.” Imam Asy-Syaukânî dalam Nayl al-Authhâr jilid 8, halaman 265, mengatakan, “Menurut golongan Syi‘ah, mayoritas Mu‘tazilah, dan Asy‘ariyah, Khilafah adalah kewajiban syariat.”
4. Ibn Taymiyah, dalam As-Siyâsah asy-Syar‘iyyah, halaman 161, menyatakan:
Upaya menjadikan kepemimpinan (Khilafah) sebagai bagian dari agama dan sarana untuk ber-taqarrub kepada Allah adalah sebuah kewajiban. Taqarrub kepada-Nya dalam kepemimpinan itu, yaitu dengan menaati Allah dan Rasul-Nya, termasuk ke dalam taqarrub yang paling utama. Faktor yang dapat merusak keadaan banyak orang dalam kepemimpinan itu tidak lain adalah sikap mencari kekuasaan dan harta semata.
Ibn Taymiyah, di dalam Majmû‘ al-Fatâwâ, jilid 28, halaman 62, juga menyatakan demikian:
Setiap anak Adam tidak akan sempurna kemaslahatannya di dunia dan akhirat, kecuali dengan senantiasa berkumpul, tolong-menolong, dan bantu-membantu; yakni dalam memperoleh kemanfaatan dan menolak kemadaratan. Oleh karena itu, manusia, menurut watak alamiahnya, dikatakan sebagai makhluk sosial. Jika mereka berkumpul, mereka pasti mempunyai berbagai urusan yang harus mereka kerjakan—untuk memperoleh kemaslahatan—dan berbagai urusan yang harus mereka hindari karena di dalamnya terkandung kemafsadatan. Mereka harus menaati seseorang (pemimpin) yang mengeluarkan perintah untuk mendapatkan kemanfaatan tersebut dan melarang mereka dari kemafsadatan itu. Oleh karena itu, seluruh anak Adam harus mempunyai orang yang berhak memerintah dan melarang.
5. Ibn Taymiyah, masih dalam As-Siyâsah asy-Syar‘iyyah, halaman 64, menyatakan:
Oleh karena itu, Nabi saw. memerintahan umatnya untuk mengangkat para penguasa (wulât al-umûr) atas mereka dan memerintahan para penguasa tersebut untuk menyampaikan berbagai amanat kepada yang berhak. Jika mereka menetapkan hukum di tengah-tengah manusia, mereka harus menetapkannya dengan adil. Allah juga telah memerintahkan umat manusia untuk menaati para penguasa tersebut dalam konteks ketaatan kepada Allah.
Dalam Sunan Abû Dâwud ada riwayat yang bersumber dari Abû Sa’îd yang menyatakan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
Jika ada tiga orang keluar dalam rangka melakukan suatu perjalanan, hendaklah salah seorang di antara mereka menjadi pemimpinnya.
Dalam Sunan yang sama juga terdapat riwayat yang semisal, yakni riwayat yang bersumber dari Abû Hurayrah.
Sementara itu, dalam Musnad Imâm Ahmad ada riwayat yang bersumber dari ‘Abdullâh ibn ‘Umar yang menyebutkan bahwa Nabi saw. juga pernah bersabda demikian:
Tidak halal bagi tiga orang yang ada di suatu tempat kosong di muka bumi, kecuali salah seorang di antara mereka menjadi pemimpinnya.
Jika dalam kelompok yang kecil dan terbatas saja Allah telah mewajibkan kaum Muslim untuk mengangkat seorang pemimpin, maka hal itu merupakan isyarat mengenai kewajiban mengangkat pemimpin untuk kelompok yang jauh lebih besar dari tiga orang. Atas dasar itu, kekuasaan (al-wilâyah)—bagi orang yang mengambilnya karena menjalankan agama dan menjadikannya sebagai sarana ber-taqarrub kepada Allah, sementara di dalamnya dia melaksanakan kewajiban sesuai dengan kemampuannya—adalah termasuk amal salih yang paling utama. Bahkan, Imam Ahmad, dalam Musnad-nya, meriwayatkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda sebagai berikut:
Sesungguhnya makhluk yang paling dicintai Allah adalah seorang imam (khalifah) yang adil. Sebaliknya, makhluk yang paling dibenci Allah adalah seorang imam (khalifah) yang zalim.
6. Ibn Taymiyah, dalam Majmû‘ al-Fatâwâ, jilid 28, halaman 297, menuturkan perkataan ‘Alî ibn Abî Thâlib r.a. sebagai berikut:
‘Alî ibn Abî Thâlib r.a., berkata, “Manusia harus mempunyai pemimpin (khalifah), entah yang baik ataupun yang buruk.” Lalu, ada yang berkata kepada beliau, “Amirul Mukminin, kalau yang baik, kami sudah mengetahuinya. Akan tetapi, bagaimana gerangan dengan seorang pemimpin yang zalim?” ‘Alî menjawab, “Asal dia tetap menjalankan hudûd, mengamankan jalan-jalan umum, berjihad melawan musuh, dan membagikan harta fai’.”
Oleh karena itu, sangat aneh dan janggal, bahwa kita saat ini tidak hidup di bawah seorang penguasa (khalifah), yang baik ataupun yang buruk; sementara hudûd telah ditelantarkan, jalan-jalan umum tidak lagi aman, dan jihad di negeri-negeri Islam telah dilalaikan. Sungguh celaka orang yang telah menyebabkan lahirnya keadaan ini!
7. Ibn Taymiyah, juga dalam Majmû‘ al-Fatâwâ, juz 28, halaman 390, menyatakan demikian:
Wajib diketahui bahwa kekuasaan untuk mengatur urusan manusia (wilâyah amr an-nâs) termasuk salah satu kewajiban agama terbesar. Bahkan, tanpa kekuasan tersebut, urusan agama dan dunia tidak akan bisa ditegakkan. Kemaslahatan manusia tidak akan sempurna kecuali dengan adanya interaksi di antara mereka karena adanya kebutuhan satu sama lain. Sementara itu, interaksi di antara mereka tentu mengharuskan adanya seorang pemimpin. Oleh karena itu, Nabi saw. sendiri, sebagaimana dituturkan oleh Abu Sa‘îd dan Abû Hurayrah, pernah bersabda demikian:
Jika ada tiga orang keluar untuk melakukan suatu perjalanan, hendaklah salah seorang di antara mereka menjadi pemimpinnya. (HR Abû Dâwud).
Sementara itu, Imam Ahmad, dalam Al-Musnad, menuturkan riwayat yang bersumber dari ‘Abdullâh ibn ‘Umar. Disebutkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda sebagai berikut:
Tidak halal bagi tiga orang yang ada di suatu tempat kosong di muka bumi, kecuali salah seorang di antara mereka menjadi pemimpinnya. (HR Ahmad).
Dengan demikian, Nabi saw. telah mewajibkan kaum Muslim untuk mengangkat seorang pemimpin, meskipun dalam kelompok yang kecil di dalam suatu perjalanan. Perintah Nabi saw. ini merupakan isyarat bahwa kaum Muslim wajib mengangkat seorang pemimpin bagi seluruh kelompok yang ada. Lebih dari itu, Allah Swt. sendiri telah mewajibkan aktivitas amar makruf nahi mungkar, sementara hal ini tidak akan terlaksana secara sempurna kecuali dengan kekuatan (quwwah) dan kepemimpinan (imârah). Demikian pula seluruh perkara yang telah diwajibkan oleh Allah kepada kaum Muslim seperti: jihad; menegakkan keadilan; melaksanakan ibadah haji, Jumatan, Idul Fitri, dan Idul Adha; menolong orang yang dizalimi; serta melaksanakan hudûd. Semua ini tidak akan sempurna kecuali dengan kekuatan (quwwah) dan kepemimpinan (imârah). Oleh karena itu, sering dikatakan, “Sesungguhnya kekuasaan itu adalah bayang-bayang Allah di muka bumi.” Sering pula dikatakan, “Enam puluh tahun hidup di bawah pimpinan Khalifah yang zalim masih lebih baik daripada hidup satu malam tanpa kekuasaan (Khilafah).”
Pengalaman telah membuktikan realitas seperti ini. Oleh karena itu, para ulama salaf—seperti Fudhayl ibn ‘Iyâdh, Ahmad ibn Hanbal, dan yang lainnya—pernah mengatakan, “Sekiranya kami mempunyai doa yang mustajab, niscaya kami akan berdoa dengan doa tersebut untuk Sultan (Khalifah).”
8. Ibn Khaldûn, dalam Al-Muqaddimah, halaman 167, menyatakan demikian:
Sesungguhnya mengangkat seorang imam (khalifah) adalah wajib. Kewajibannya dalam syariat telah diketahui berdasarkan Ijma Sahabat dan tâbi’în (generasi pasca sahabat). Ketika Rasulullah saw. wafat, para sahabat beliau segera membaiat Abû Bakar r.a. dan menyerahkan pertimbangan tentang berbagai urusan mereka kepadanya. Demikian pula yang dilakukan oleh kaum Muslim pada setiap masa setelah Abû Bakar. Oleh karena itu, pada setiap masa yang ada, tidak pernah terjadi kekacauan (anarkisme) di tengah-tengah umat manusia. Realitas semacam ini sekaligus merupakan ijma yang menunjukkan pada adanya kewajiban mengangkat seorang imam (khalifah).
9. Ibn Hazm, dalam Al-Fashl fî al-Milal wa al-Ahwâ’ wa an-Nihal, juz 4, halaman 87, menyatakan:
Seluruh kalangan Ahlus Sunnah, Murji‘ah, Syi‘ah, dan Khawarij telah bersepakat mengenai kewajiban adanya Imamah (Khilafah). Mereka juga telah bersepakat bahwa umat Islam wajib menaati seorang imam yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah mereka dan memimpin mereka dengan hukum-hukum syariat yang dibawa oleh Rasulullah. Hanya kelompok An-Najdât dari kalangan Khawarij yang menyatakan bahwa kefardhuan Imamah tidak mengikat manusia. Manusia, menurut mereka, hanya berkewajiban untuk menunaikan hak dan kewajiban di antara mereka.
10. Imam al-Qurthubî, dalam tafsirnya, juz 1, halaman 264, telah menyatakan demikian:
Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban tersebut (yakni mengangkat Khalifah) di kalangan umat Islam dan para imam mazhab, kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-‘Asham—yang tuli (‘asham) terhadap syariat—dan siapa saja yang menyuarakan pendapatnya atau mengikuti pendapat dan mazhabnya.
11. Al-Haytsamî, dalam Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, halaman 17, menyatakan demikian:
Ketahuilah bahwa para sahabat—ridlwânullâh ‘alayhim—telah berijma (bersepakat) bahwa mengangkat imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman nubuwwah (kenabian) adalah wajib. Mereka bahkan menjadikannya sebagai kewajiban terpenting. terbukti, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban tersebut seraya menunda penguburan jenazah Rasulullah saw.
12. An-Nawawî, dalam Syarh Muslim, juz 12, halaman 205, menyatakan, “Mereka (para imam mazhab) telah bersepakat bahwa kaum Muslim wajib mengangkat seorang khalifah.”
13. Al-Jurjânî menyatakan, “Mengangkat imam (khalifah) termasuk ke dalam kemaslahatan terpenting kaum Muslim dan tujuan agama yang terbesar.”
14. Imam al-Haramayn, dalam kitabnya, Ghiyâts al-Umam, menyatakan, “Telah terdapat ijma tentang kewajiban mengangkat khalifah yang mengatur (kehidupan) manusia dengan Islam.”
15. Al-Ijî, dalam Al-Mawâqif, dan pensyarahnya, al-Jurjânî, menyatakan demikian:
Sesungguhnya telah dituturkan secara mutawâtir ijma (konsensus) kaum Muslim pada generasi pertama setelah wafatnya Nabi saw. yang menyatakan bahwa zaman tidak boleh kosong dari seorang imam (khalifah). Oleh karena itu, Abû Bakar r.a., dalam khutbahnya yang termasyhur saat wafatnya Rasulullah saw., berkata, “Perhatikanlah, sesungguhnya Muhammad telah wafat, sementara agama ini, tidak boleh tidak, harus ada yang menegakkannya.”
Seluruh sahabat kemudian segera menerima seruannya dan meninggalkan hal yang sangat penting lainnya, yaitu menguburkan jenazah Rasulullah saw. Kaum Muslim tetap menjalankan kewajiban ini pada setiap masa sampai masa kita sekarang ini, yaitu kewajiban mengangkat seorang imam (khalifah) yang ditaati untuk setiap masa.
16. Dr. Dhiyâ’uddîn ar-Rays dalam bukunya, Al-Islâm wa al-Khilâfah, halaman 99, menyatakan demikian:
Walhasil, Khilafah menempati kedudukan terpenting dalam agama dan selalu diperhatikan oleh kaum Muslim. Syariat Islam telah menetapkan bahwa mendirikan Khilafah adalah salah satu kewajiban mendasar di antara kewajiban-kewajiban agama lainnya, bahkan merupakan kewajiban terbesar (al-fardh al-a‘zham), karena di atas kekhilafahanlah bertumpu pelaksanaan seluruh kewajiban lainnya.
17. Dr. Dhiyâ’uddîn ar-Rays, dalam bukunya tersebut, halaman 341 juga menyatakan demikian:
Sesungguhnya para ulama di kalangan kaum Muslim telah berijma, sebagaimana kita ketahui sebelumnya, bahwa Khilafah atau Imamah adalah satu kewajiban mendasar di antara kewajiban-kewajiban agama yang ada. Bahkan, Khilafah/Imamah adalah kewajiban terbesar (al-fardh al-a‘zham), karena di atasnyalah bertumpu pelaksanaan seluruh kewajiban lainnya dan perwujudan berbagai kemaslahatan umum bagi kaum Muslim.
Oleh karena itu, mereka menamakan kedudukan ini dengan Al-Imâmah al-‘Uzhmâ (Kepemimpinan Agung) sebagai pembanding Imâmah ash-Shalâh (Keimaman dalam Shalat) yang disebut dengan Al-Imâmah ash-Shugrâ (Kepemimpinan Kecil). Ini adalah pendapat Ahlusunnah wal Jamaah yang merupakan mayoritas terbesar kaum Muslim. Artinya, pendapat ini adalah pendapat para mujtahid besar, yaitu Imam yang Empat—Imam Abû Hanîfah, Imam Mâlikî, Imam asy-Syâfi’î, dan Imam Ahmad—serta para ulama lainnya seperti Imam al-Mawardî, Imam al-Juwaynî, Imam al-Ghazâlî, Imam ar-Râzî, at-Taftazanî, Ibn Khaldûn, dan lain-lain. Dari merekalah kaum Muslim mengambil pemahaman agama. Kita telah mengetahui berbagai dalil dan bukti yang telah mereka jadikan sandaran dalam hal wajibnya Khilafah.
Sementara itu, golongan Syi‘ah menilai Imamah lebih dari itu. Mereka memandang bahwa Imamah bukan sekadar wajib, bahkan merupakan rukun agama dan dasar keimanan. Artinya, keimanan tidak dianggap sah, kecuali dengan adanya Imamah. Dengan demikian, Khilafah, menurut kaum Muslim, ada yang menganggapnya fardhu dan ada pula yang menganggapnya sebagai rukun akidah. Inilah hakikat ilmiah keagamaan yang tidak diperbantahkan lagi.
18. ‘Abdurrahmân ‘Abdul Khâliq, dalam bukunya, Asy-Syûrâ, halaman 26, menyatakan demikian:
Imamah Umum (Al-Imâmah al-Ammah) atau Khilafah adalah institusi yang dibebani tugas untuk menegakkan syariat Allah Swt., memutuskan hukum dengan Kitab-Nya (al-Quran), menjalankan urusan kaum Muslim, memperbaiki keadaan mereka, dan melancarkan jihad terhadap musuh mereka. Tidak ada perbedaan pendapat lagi di antara kaum Muslim mengenai kewajiban Khilafah dan keharusan keberadaannya. Mereka semua berdosa jika lalai dari upaya untuk mendirikannya.
19. Abû Ya’lâ, dalam Al-Ahkâm ash-Sulthâniyyah, halaman 19, menyatakan demikian:
Khilafah adalah fardhu kifayah yang dipikulkan kepada 2 (dua) golongan manusia: (1) Ahlul Ijtihad (para mujtahid) hingga mereka berhasil memilih (seseorang sebagai khalifah); (2) Orang-orang yang memenuhi syarat Imamah hingga salah satu dari mereka diangkat sebagai imam.
20. ‘Abdul Qâdir ‘Audah, dalam bukunya, Al-Islâm wa Awdha’unâ as-Siyâsiyah, halaman 124, menyatakan demikian:
Khilafah dapat dianggap sebagai satu kewajiban di antara fardlu-fardlu kifayah, seperti halnya jihad dan peradilan (qadhâ’). Jika kewajiban ini telah dilaksanakan oleh orang yang memenuhi syarat, maka gugurlah kewajiban ini dari seluruh kaum Muslim. Akan tetapi, jika tidak ada seorang pun yang melaksanakannya, maka seluruh kaum Muslim berdosa hingga orang yang memenuhi syarat dapat melaksanakan kewajiban Khilafah ini.
Sebagian ulama berpendapat bahwa dosa hanya menimpa dua golongan saja dari kalangan kaum Muslim: (1) Ahlur Ra’yi (para ulama dan intelektual) hingga mereka mengangkat salah seorang dari kaum Muslim sebagai khalifah; (2) Orang-orang yang telah memenuhi syarat sebagai khalifah hingga seorang dari mereka terpilih sebagai khalifah.
Pendapat yang benar adalah bahwa dosa menimpa seluruh kaum Muslim. Alasannya, seluruh kaum Muslim telah menjadi sasaran seruan (khithâb) dari syariat, dan mereka berkewajiban untuk menegakkannya.…
Jika pemilihan (khalifah) ini diserahkan kepada satu golongan di kalangan umat Islam, maka kewajiban seluruh umat adalah mendorong golongan tersebut untuk menunaikan kewajibannya. Jika tidak, umat turut memikul dosanya....
21. Sulaymân ad-Dîjî, dalam bukunya, Al-Imâmah al-‘Uzhmâ, halaman 75, menyatakan demikian:
Benar, tidak ada keraguan lagi, bahwa kewajiban mengangkat seorang khalifah dibebankan atas dua golongan, yang lebih berat daripada selain dua golongan tersebut. Akan tetapi, jika kedua golongan tersebut tidak melaksanakan kewajiban ini, maka dosanya menimpa semua orang. Inilah pengertian dari hukum mendirikan Khilafah yang besifat fardhu kifayah. Artinya, jika sebagian kaum Muslim sudah melaksanakannya, maka kewajiban tersebut gugur dari sebagian lainnya. Akan tetapi, jika tidak ada seorang pun yang melaksanakannya, maka semuanya berdosa; seperti kewajiban amar makruf nahi mungkar, jihad, menuntut ilmu, dan sebagainya....
Saat ini, kedua golongan tersebut telah melalaikan pelaksanaan kewajiban ini, atau telah mengikuti apa yang dikehendaki oleh hawa nafsu mereka. Oleh karena itu, hukumnya menjadi fardhu ‘ain atas setiap individu Muslim—sesuai dengan kemampuannya masing-masing—untuk berjuang menegakkan Khilafah Islamiyah yang menyeluruh. Khilafah inilah yang akan mempersatukan kaum Muslim di bawah bendera tauhid yang benar; yang akan mengembalikan bagi agama ini kehebatan dan kepemimpinannya; serta yang akan mengembalikan bagi kaum Muslim negara dan posisi mereka yang telah hilang akibat kelalaian mereka dalam menegakkan kewajiban yang agung ini. Allahlah Tempat Memohon.
22. Dr. Mahmûd al-Khâlidî, dalam bukunya, Qawâ‘id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, halaman 248, menyatakan demikian:
Tidak ada kehinaan yang menimpa kaum Muslim—yang menjadikan mereka hidup di pinggiran dunia, mengekor berbagai umat, dan terbelakang dalam sejarah—kecuali kelalaian mereka dalam berjuang untuk mendirikan Khilafah dan tidak segeranya mereka untuk mengangkat seorang khalifah bagi mereka. Ini semata-mata karena adanya kewajiban untuk berpegang dengan hukum syariat yang telah menjadi perkara yang ma‘lûm min ad-Dîn bi ad-dharûrah (diketahui secara pasti sebagai bagian dari ajaran agama Islam) seperti halnya shalat, shaum, dan haji. Oleh karena itu, melalaikan tugas untuk melanjutkan kehidupan Islam adalah sebuah kemaksiatan yang terbesar. Atas dasar itu, mengangkat seorang khalifah bagi kaum Muslim adalah fardhu dan merupakan keharusan dalam rangka menerapkan hukum-hukum syariat atas kaum Muslim dan mengemban dakwah Islam ke seluruh pelosok dunia.
Saya kira, nukilan-nukilan pendapat ini telah cukup meyakinkan bagi orang yang mempunyai hati atau yang mempunyai pendengaran, sementara dia menyaksikan segala sesuatunya. []