Post by mancis on May 10, 2007 7:49:54 GMT -1
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar). Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. (Qs. al-Baqarah [2]: 120).
Setelah mentari kekhilafahan Islam terbenam pada tahun 1924 akibat sebagian besar pemimpin umat Islam menjadi berlebihan cintanya pada dunia dan mengikuti hasutan musuh-musuh Islam dari negara-negara kolonialis hingga mereka berpecah belah, maka kondisi umat Islam ibarat anak yatim piatu yang kehilangan ayah dan ibunya. Sungguh menyedihkan, umat Islam terpecah belah menjadi beberapa bagian dan terombang-ambing layaknya buih di tepi pantai. Perubahan dahsyat yang terjadi kemudian adalah:
1. Syari’at Islam tidak lagi dijadikan sumber hukum, karena penerapan hukum mengacu pada hukum positif (positive law) buatan manusia yang diambil dari Barat maupun Timur.
2. Munculnya para penguasa tali barut barat yang memegang kendali politik di negara-negara Islam.
3. Agresi terhadap Islam dan kaum Muslimin secara terus menerus di sebagian besar wilayah Islam yang disertai loyalitas dan dukungan dari berbagai pihak terhadap musuh-musuh Islam.
4. Menyebarnya beraneka ragam racun di segala lapisan dan sektor, baik yang berkaitan dengan pemikiran, peradaban, politik, moral, perilaku maupun pergaulan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa fenomena semacam ini membuat banyak orang Islam menjadi kebingungan menentukan sikap, entah dalam tingkat individu maupun komunitas. Ada yang mengkafirkan para penguasa tak terkecuali siapa pun penguasa itu, ada yang mengkafirkan sesama orang Islam yang berhubungan dengan para penguasa, ada yang mengasingkan diri ke pelosok daerah atau pegunungan dan memutuskan hubungan dengan masyarakat luas, ada yang menggerakkan kekuatan dan mengangkat senjata melawan para penguasa, ada yang menghidupkan sistem Demokrasi sebagai langkah untuk memasyarakatkan syari’at Allah, dan banyak lagi golongan lain dengan sikapnya sendiri-sendiri.
Khusus untuk golongan aktivis-aktivis Muslim yang menerima sistem Demokrasi, mereka kemudian diharuskan untuk mengikuti aturan-aturan main yang telah ada di dalam sistem tersebut. Mereka diharuskan memiliki atau menjadi anggota organisasi politik tertentu yang diakui pemerintah dan mengikutsertakan wakil-wakil mereka di dewan perwakilan, yang dipilih dan ditetapkan berdasarkan jumlah ‘suara rakyat’ yang diperoleh selama pemilihan umum. Wakil-wakil Muslim terpilih ini selanjutnya bersama-sama dengan wakil-wakil dari kelompok Nasionalis, Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, Komunis, Atheis, Kebathinan, dan kelompok-kelompok lain duduk di parlimen untuk merumuskan undang-undang dan peraturan-peraturan negara.
Rancangan Undang-Undang (RUU) yang telah selesai dirumuskan kemudian dibawa ke sidang-sidang dewan baik sidang negara ataupun sidang rakyat untuk diputuskan melalui pengambilan suara(voting). Setiap Rang Undang Undang, baru dapat disahkan menjadi undang-undang jika majoriti suara dewan perwakilan menyetujuinya disahkan sebagai undang-undang.
Sebagai contoh, jika orang-orang Islam yang duduk di dewan ingin membuat ketetapan yang melarang riba misalnya, atau membuat peraturan hukum yang mengacu kepada ketetapan syari'at Islam, maka mereka terlebih dahulu harus mengusulkan hal ini ke dewan perwakilan untuk dibahas, dirumuskan dan ditetapkan melalui pengambilan suara. Jika majoriti anggota dewan menyetujuinya maka ketetapan ini kemudian disampaikan kepada kepala negara atau penguasa politik. Kepala negara bisa mengesahkannya atau mengembalikannya lagi ke dewan perwakilan untuk dikaji ulang atau direvisi. Sebaliknya jika suara dewan yang menolak dan suara yang menerima sama jumlahnya, maka ketetapan itu pun harus ditolak atau dibekukan.
Dengan urutan seperti ini, dapat diibaratkan seolah-olah Allah SWT mengusulkan kepada dewan - apa yang telah diturunkan-Nya di dalam Kitab-Nya kepada Rasulullah Saw berupa hukum-hukum. Hukum-hukum ini disampaikan kepada dewan melalui wakil-wakil Islam yang duduk disana untuk dipertimbangkan lagi apakah sesuai dengan kemaslahatan rakyat atau tidak. Jika dianggap tidak sesuai maka ia ditolak, sedangkan jika sesuai maka ia diterima, itu pun setelah melalui pengambilan suara di dewan perwakilan. Jika diterima di dewan, ketetapan ini pun masih harus diajukan lagi kepada kepala negara untuk dipertimbangkan lagi dan disahkan. Jika sesuai dengan pendapat penguasa maka ia disahkan dan jika tidak maka ia akan dikembalikan lagi ke dewan untuk ditinjau ulang
Apa makna semua ini???! Apakah Allah sebagai Pencipta langit dan bumi, Yang Maha Esa dan Berdiri sendiri, Yang menjadi Tempat Bersandar, dibatasi peranannya oleh para wakil rakyat di dewan perwakilan dan tergantung kepada usulan mereka? Dengan demikian nyatalah di sana terdapat tiga macam sesembahan, yang sebagian lebih unggul daripada sebagian yang lain, yang secara berurutan adalah:
- sesembahan tingkat pertama adalah kepala negara,
- sesembahan tingkat kedua adalah dewan perwakilan, dan
- sesembahan tingkat ketiga adalah Allah (dan Allah Maha Tinggi dari yang demikian itu).
Allah Ta’ala berfirman,
...Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik. (Qs. al-An’âm [6]: 57).
...Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir. (Qs. al-Mâ’idah [5]: 44).
...Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang zhalim. (Qs. al-Mâ’idah [5]: 45).
Untuk ketiga kalinya dalam surat yang sama Allah Ta’ala menegaskan,
...Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang fasik. (Qs. al-Mâ’idah [5]: 47).
Sejumlah ahli tafsir mengatakan bahwa kategori kafir, zhalim dan fasik yang disebutkan Allah dalam Qs. al-Mâ’idah [5] tersebut tergantung pada kualitas penolakan seseorang terhadap upaya memutuskan perkara menurut hukum Allah, yaitu, (1) orang tersebut disebut kafir jika ia melakukannya karena benci dan ingkarnya pada hukum Allah, (2) disebut zhalim jika ia melakukannya karena memperturutkan hawa nafsunya dan merugikan orang lain, dan (3) disebut fasik jika ia melakukannya karena kefasikannya terhadap hukum-hukum Allah.
Lebih celakanya lagi, syari’at Allah diletakkan sejajar dengan ketetapan-ketetapan lain yang diusulkan oleh kelompok-kelompok lain kepada dewan perwakilan. Karena kelompok non-muslim boleh mengusulkan ketetapan-ketetapan sebagaimana halnya orang-orang Islam juga mengusulkan ketetapan-ketetapan. Jika orang-orang Islam mengusulkan ketetapan-ketetapan atau undang-undang atas nama Allah, maka orang-orang non-muslim mengusulkan ketetapan-ketetapan atau undang-undang atas nama selain Allah (toghut). Artinya Allah dan thaghut atau syetan disamakan kedudukannya. Tidakkah menyamakan Alllah dengan selainnya merupakan syirik yg nyata. Hukum Allah dibawa ke parlimen utk diundi dan hukum toghut juga dibawa ke parlimen utk diundi. Malangnya org2 islam tidak sedar akan perkara ini dan keikutsertaan mereka didalam sistem ini sebenarnya telah mengesahkan sistem yg penuh dengan kesyirikan itu..
Alangkah zhalim dan buruknya tindakan mereka. Jika orang-orang Islam menempatkan dirinya pada kedudukan seperti ini dan memilih jalan yang menggelincirkan ini, maka mereka bisa dianggap telah melakukan penghancuran yang nyata terhadap upaya menjaga agama. Karena menjaga agama adalah menegakkan rukun-rukunnya dan menjadikan syari’at Allah sebagai sumber hukum dan menolak hukum-hukum selainnya. Yang pada hakikatnya adalah mengaktualisasikan makna La ilaha illallah secara komprehensif. Orang Islam belum bisa disebut Muslim kecuali setelah ia ridha terhadap rukun-rukun agama, menjaga dan menegakkannya sesuai dengan aturan-aturannya.
Al-Ustadz Fathi Yakan dalam bukunya ‘Al-Islam Fikrah wa Harakah wa Inqilab’ menulis, “Hak penetapan hukum dalam sistem Islam bukan berada di tangan rakyat, seperti yang berlaku dalam sistem Demokrasi.”
Satu hal yang amat menyedihkan lagi adalah ketika orang-orang islam yang duduk di dewan perwakilan merobohkan dinding pemisah diantara islam dan agama yang lain. Secara terpaksa ataupun sukarela mereka telah menyetujui, mengakui dan bersama sama menegakkan sistem kufur ini. Apakah mereka sedar bagaimana hal tersebut terjadi? Yang demikian terjadi kerana mereka diwajibkan untuk melakukan sumpah jawatan. Ya!!!! Setiap ahli parlimen diwajibkan bersumpah semasa pertama kali memegang jawatan yg dimenangi dalam pilihanraya sebelum parlimen dimulakan..Apakah sumpahnya itu?
“Aku bersumpah kepada Allah Yang Maha Agung untuk berbakti secara tulus kepada negara dan (kepada kepala negara), menghormati undang-undang dan hukum negara, menghormati perjalana dewan,bersiap melindungi kemerdekaan rakyat, kemaslahatan dan harta mereka, siap melaksanakan tugas dengan memegang amanat dan kejujuran.”
Benar-benar tak habis pikir bagaimana mungkin seorang Muslim bersumpah kepada Allah Yang Maha Agung untuk mendurhakai-Nya? Bagaimana mungkin seorang Muslim pura-pura tidak tahu makna keikhlasan karena Allah dan kemudian bersumpah untuk bersikap ikhlas kepada negara dan kepala negara? Dengan kata lain, mereka harus bersumpah untuk menjadikan tanah, air dan udara sebagai penolongnya, baik berupa negara atau berwujud manusia. Bagaimana mungkin seorang muslim yg mengatakan undang2 yg ada sekarang ni undang2 kufur tetapi pada masa yang sama bersumpah untuk mentaati undang2 tersebut.
Setelah mentari kekhilafahan Islam terbenam pada tahun 1924 akibat sebagian besar pemimpin umat Islam menjadi berlebihan cintanya pada dunia dan mengikuti hasutan musuh-musuh Islam dari negara-negara kolonialis hingga mereka berpecah belah, maka kondisi umat Islam ibarat anak yatim piatu yang kehilangan ayah dan ibunya. Sungguh menyedihkan, umat Islam terpecah belah menjadi beberapa bagian dan terombang-ambing layaknya buih di tepi pantai. Perubahan dahsyat yang terjadi kemudian adalah:
1. Syari’at Islam tidak lagi dijadikan sumber hukum, karena penerapan hukum mengacu pada hukum positif (positive law) buatan manusia yang diambil dari Barat maupun Timur.
2. Munculnya para penguasa tali barut barat yang memegang kendali politik di negara-negara Islam.
3. Agresi terhadap Islam dan kaum Muslimin secara terus menerus di sebagian besar wilayah Islam yang disertai loyalitas dan dukungan dari berbagai pihak terhadap musuh-musuh Islam.
4. Menyebarnya beraneka ragam racun di segala lapisan dan sektor, baik yang berkaitan dengan pemikiran, peradaban, politik, moral, perilaku maupun pergaulan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa fenomena semacam ini membuat banyak orang Islam menjadi kebingungan menentukan sikap, entah dalam tingkat individu maupun komunitas. Ada yang mengkafirkan para penguasa tak terkecuali siapa pun penguasa itu, ada yang mengkafirkan sesama orang Islam yang berhubungan dengan para penguasa, ada yang mengasingkan diri ke pelosok daerah atau pegunungan dan memutuskan hubungan dengan masyarakat luas, ada yang menggerakkan kekuatan dan mengangkat senjata melawan para penguasa, ada yang menghidupkan sistem Demokrasi sebagai langkah untuk memasyarakatkan syari’at Allah, dan banyak lagi golongan lain dengan sikapnya sendiri-sendiri.
Khusus untuk golongan aktivis-aktivis Muslim yang menerima sistem Demokrasi, mereka kemudian diharuskan untuk mengikuti aturan-aturan main yang telah ada di dalam sistem tersebut. Mereka diharuskan memiliki atau menjadi anggota organisasi politik tertentu yang diakui pemerintah dan mengikutsertakan wakil-wakil mereka di dewan perwakilan, yang dipilih dan ditetapkan berdasarkan jumlah ‘suara rakyat’ yang diperoleh selama pemilihan umum. Wakil-wakil Muslim terpilih ini selanjutnya bersama-sama dengan wakil-wakil dari kelompok Nasionalis, Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, Komunis, Atheis, Kebathinan, dan kelompok-kelompok lain duduk di parlimen untuk merumuskan undang-undang dan peraturan-peraturan negara.
Rancangan Undang-Undang (RUU) yang telah selesai dirumuskan kemudian dibawa ke sidang-sidang dewan baik sidang negara ataupun sidang rakyat untuk diputuskan melalui pengambilan suara(voting). Setiap Rang Undang Undang, baru dapat disahkan menjadi undang-undang jika majoriti suara dewan perwakilan menyetujuinya disahkan sebagai undang-undang.
Sebagai contoh, jika orang-orang Islam yang duduk di dewan ingin membuat ketetapan yang melarang riba misalnya, atau membuat peraturan hukum yang mengacu kepada ketetapan syari'at Islam, maka mereka terlebih dahulu harus mengusulkan hal ini ke dewan perwakilan untuk dibahas, dirumuskan dan ditetapkan melalui pengambilan suara. Jika majoriti anggota dewan menyetujuinya maka ketetapan ini kemudian disampaikan kepada kepala negara atau penguasa politik. Kepala negara bisa mengesahkannya atau mengembalikannya lagi ke dewan perwakilan untuk dikaji ulang atau direvisi. Sebaliknya jika suara dewan yang menolak dan suara yang menerima sama jumlahnya, maka ketetapan itu pun harus ditolak atau dibekukan.
Dengan urutan seperti ini, dapat diibaratkan seolah-olah Allah SWT mengusulkan kepada dewan - apa yang telah diturunkan-Nya di dalam Kitab-Nya kepada Rasulullah Saw berupa hukum-hukum. Hukum-hukum ini disampaikan kepada dewan melalui wakil-wakil Islam yang duduk disana untuk dipertimbangkan lagi apakah sesuai dengan kemaslahatan rakyat atau tidak. Jika dianggap tidak sesuai maka ia ditolak, sedangkan jika sesuai maka ia diterima, itu pun setelah melalui pengambilan suara di dewan perwakilan. Jika diterima di dewan, ketetapan ini pun masih harus diajukan lagi kepada kepala negara untuk dipertimbangkan lagi dan disahkan. Jika sesuai dengan pendapat penguasa maka ia disahkan dan jika tidak maka ia akan dikembalikan lagi ke dewan untuk ditinjau ulang
Apa makna semua ini???! Apakah Allah sebagai Pencipta langit dan bumi, Yang Maha Esa dan Berdiri sendiri, Yang menjadi Tempat Bersandar, dibatasi peranannya oleh para wakil rakyat di dewan perwakilan dan tergantung kepada usulan mereka? Dengan demikian nyatalah di sana terdapat tiga macam sesembahan, yang sebagian lebih unggul daripada sebagian yang lain, yang secara berurutan adalah:
- sesembahan tingkat pertama adalah kepala negara,
- sesembahan tingkat kedua adalah dewan perwakilan, dan
- sesembahan tingkat ketiga adalah Allah (dan Allah Maha Tinggi dari yang demikian itu).
Allah Ta’ala berfirman,
...Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik. (Qs. al-An’âm [6]: 57).
...Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir. (Qs. al-Mâ’idah [5]: 44).
...Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang zhalim. (Qs. al-Mâ’idah [5]: 45).
Untuk ketiga kalinya dalam surat yang sama Allah Ta’ala menegaskan,
...Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang fasik. (Qs. al-Mâ’idah [5]: 47).
Sejumlah ahli tafsir mengatakan bahwa kategori kafir, zhalim dan fasik yang disebutkan Allah dalam Qs. al-Mâ’idah [5] tersebut tergantung pada kualitas penolakan seseorang terhadap upaya memutuskan perkara menurut hukum Allah, yaitu, (1) orang tersebut disebut kafir jika ia melakukannya karena benci dan ingkarnya pada hukum Allah, (2) disebut zhalim jika ia melakukannya karena memperturutkan hawa nafsunya dan merugikan orang lain, dan (3) disebut fasik jika ia melakukannya karena kefasikannya terhadap hukum-hukum Allah.
Lebih celakanya lagi, syari’at Allah diletakkan sejajar dengan ketetapan-ketetapan lain yang diusulkan oleh kelompok-kelompok lain kepada dewan perwakilan. Karena kelompok non-muslim boleh mengusulkan ketetapan-ketetapan sebagaimana halnya orang-orang Islam juga mengusulkan ketetapan-ketetapan. Jika orang-orang Islam mengusulkan ketetapan-ketetapan atau undang-undang atas nama Allah, maka orang-orang non-muslim mengusulkan ketetapan-ketetapan atau undang-undang atas nama selain Allah (toghut). Artinya Allah dan thaghut atau syetan disamakan kedudukannya. Tidakkah menyamakan Alllah dengan selainnya merupakan syirik yg nyata. Hukum Allah dibawa ke parlimen utk diundi dan hukum toghut juga dibawa ke parlimen utk diundi. Malangnya org2 islam tidak sedar akan perkara ini dan keikutsertaan mereka didalam sistem ini sebenarnya telah mengesahkan sistem yg penuh dengan kesyirikan itu..
Alangkah zhalim dan buruknya tindakan mereka. Jika orang-orang Islam menempatkan dirinya pada kedudukan seperti ini dan memilih jalan yang menggelincirkan ini, maka mereka bisa dianggap telah melakukan penghancuran yang nyata terhadap upaya menjaga agama. Karena menjaga agama adalah menegakkan rukun-rukunnya dan menjadikan syari’at Allah sebagai sumber hukum dan menolak hukum-hukum selainnya. Yang pada hakikatnya adalah mengaktualisasikan makna La ilaha illallah secara komprehensif. Orang Islam belum bisa disebut Muslim kecuali setelah ia ridha terhadap rukun-rukun agama, menjaga dan menegakkannya sesuai dengan aturan-aturannya.
Al-Ustadz Fathi Yakan dalam bukunya ‘Al-Islam Fikrah wa Harakah wa Inqilab’ menulis, “Hak penetapan hukum dalam sistem Islam bukan berada di tangan rakyat, seperti yang berlaku dalam sistem Demokrasi.”
Satu hal yang amat menyedihkan lagi adalah ketika orang-orang islam yang duduk di dewan perwakilan merobohkan dinding pemisah diantara islam dan agama yang lain. Secara terpaksa ataupun sukarela mereka telah menyetujui, mengakui dan bersama sama menegakkan sistem kufur ini. Apakah mereka sedar bagaimana hal tersebut terjadi? Yang demikian terjadi kerana mereka diwajibkan untuk melakukan sumpah jawatan. Ya!!!! Setiap ahli parlimen diwajibkan bersumpah semasa pertama kali memegang jawatan yg dimenangi dalam pilihanraya sebelum parlimen dimulakan..Apakah sumpahnya itu?
“Aku bersumpah kepada Allah Yang Maha Agung untuk berbakti secara tulus kepada negara dan (kepada kepala negara), menghormati undang-undang dan hukum negara, menghormati perjalana dewan,bersiap melindungi kemerdekaan rakyat, kemaslahatan dan harta mereka, siap melaksanakan tugas dengan memegang amanat dan kejujuran.”
Benar-benar tak habis pikir bagaimana mungkin seorang Muslim bersumpah kepada Allah Yang Maha Agung untuk mendurhakai-Nya? Bagaimana mungkin seorang Muslim pura-pura tidak tahu makna keikhlasan karena Allah dan kemudian bersumpah untuk bersikap ikhlas kepada negara dan kepala negara? Dengan kata lain, mereka harus bersumpah untuk menjadikan tanah, air dan udara sebagai penolongnya, baik berupa negara atau berwujud manusia. Bagaimana mungkin seorang muslim yg mengatakan undang2 yg ada sekarang ni undang2 kufur tetapi pada masa yang sama bersumpah untuk mentaati undang2 tersebut.