Post by super on Oct 27, 2009 18:27:09 GMT -1
BABAK BARU PERANG MELAWAN TERORISME?
[Al-Islam 478] Tiga bulan pasca Tragedi JW Marioot-Rizt Carlton, isu terorisme terus berjalan berkesinambungan. Bahkan, terbunuhnya sejumlah para pelaku teror, tetap tidak menjadikan agenda terorisme ini berakhir. Justru tampak ada upaya yang lebih sistematis untuk mengembangkan isu terorisme ini bukan lagi untuk menindak para pelaku teror atau kekerasan, melainkan menindak setiap upaya untuk menegakkan Islam itu sendiri.
Lihat saja, labelisasi dan pengaitan aksi kekerasan dengan umat Islam yang dianggap memiliki agenda formalisasi syariah Islam. Padahal, banyak pengamat menilai, upaya pengaitan ini tampak dipaksakan, karena adanya jarak yang sangat jauh antara motif dan aksi sebagai metode untuk mewujudkan agenda-agenda kelompok yang dituding sebagai pelaku teror.
Belum lagi penangkapan oleh polisi terhadap 335 orang lebih yang disangka terkait dengan aksi teror. Begitu pula eksekusi oleh polisi terhadap 9 orang dalam drama di Temanggung, Jebres dan Ciputat yang ditayangkan TV, yang seakan tidak ada hak sama sekali bagi orang yang disangka “teroris” untuk membuktikan dirinya teroris atau tidak, dan mendapatkan peradilan yang transparan dan jujur di depan hukum.
Dari sudut pandang Hak Asasi Manusia (HAM), penanganan tersangka kasus teror oleh polisi juga diduga sarat dengan pelanggaran, seperti penetapan atau pengumuman orang masuk dalam DPO (daftar pencarian orang). Upaya ini dianggap tidak sesuai dengan prinsip praduga tak bersalah dan bertentangan dengan pasal 19 ayat 1 UU HAM. Intinya, tidak boleh pihak kepolisian mengumumkan seseorang masuk dalam DPO sebelum adanya putusan pengadilan. Demikian seperti diungkapkan oleh salah satu anggota Komnas HAM, Saharuding Daming (Detiknews, 26/8/09).
Selain itu, TV dan media massa yang lainnya pun telah dikontrol dan dipaksa berpihak kepada satu pihak, tanpa memberikan ruang yang cukup untuk melakukan klarifikasi kepada pihak lain. Opini pun dibentuk dan diarahkan untuk mengadili tersangka, dan membenarkan tindakan pengadilan sepihak itu.
Babak Baru Pemerintahan Baru
Kabinet baru pemerintahan SBY memasukkan agenda Perang Melawan Terorisme sebagai bagian dari program 100 hari pertama di bawah Menko Polhukam Marsekal (Purn.) Djoko Suyanto. Satu pertemuan National Summit, yang salah satu topik utamanya adalah terorisme, akan digelar pada 29-31 Oktober 2009 di Jakarta. Pertemuan ini merupakan ajang dialog pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam isu terorisme. Dalam pertemuan ini akan dibentuk komisi khusus penanganan terorisme (Detiknews, 25/10/09).
Sementara itu, dari diskusi yang diselenggarakan oleh CIDES dengan bertajuk, “Kepemimpinan SBY, Gerakan Terorisme dan Masa Depan Demokrasi Indonesia” di Hotel Sahid Jakarta (22/10/09) baru-baru ini, Ketua Desk Koordinator Pemberantasan Terorisme di Kementerian Kordinator Polhukam Ansyaad Mbai, melalui pernyataan dan makalah akademiknya, tampak berupaya mengaitkan dan menggeneralisasi tindakan dan kelompok teror sehingga mencakup semua kelompok dan umat Islam yang mengusung agenda penegakkan syariah. Akhirnya, upaya kontra terorisme pun bergeser pada penindakan apa yang disebutnya sebagai radikalisme agama, sehingga perlu ada upaya deradikalisasi. Tetapi, apa sesungguhnya radikalisme, batasan dan bentuknya? Ternyata tidak jelas.
Pertanyaan yang lebih penting dari semuanya itu adalah: jika perang melawan terorisme telah berubah dari memerangi pelaku teror atau kekerasan, kepada perang melawan perjuangan menegakkan kembali syariat Islam, lalu untuk kepentingan siapa perang ini?
Karena itu, jawabannya mudah. Jelas bukan untuk kepentingan Islam dan umatnya. Juga bukan untuk kepentingan Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim. Meski sering kali menggunakan kedok untuk menyelamatkan Indonesia.
Sejak awal, Hizbut Tahrir menyatakan dengan tegas, bahwa Perang Melawan Terorisme yang sesungguhnya adalah perang melawan Islam. Perang ini juga bukan untuk kepentingan Islam dan umatnya, tetapi untuk kepentingan negara-negara penjajah. Karena Islam dianggap sebagai ancaman potensial setelah runtuhnya Sosialisme dan Komunisme. Hanya saja, ada dua skenario yang mereka lakukan.
Pertama, mereka tidak akan menyerang langsung Islam, tetapi dengan menyamarkan serangan terhadap Islam itu dengan Perang Melawan Terorisme, Radikalisme atau Fundamentalisme, atau ungkapan-ungkapan kamuflase yang lainnya. Sebab, kalau mereka menyatakan secara terbuka perang melawan Islam, pasti mereka tidak akan menang.
Kedua, mereka juga tidak akan melakukan peperangan secara langsung dengan umat Islam, terutama setelah mereka membuktikan sendiri bahwa umat Islam tidak akan bisa dikalahkan, baik di Irak, Afganistan maupun Pakistan. Karena itu, mereka pun meminjam tangan-tangan orang Islam untuk berperang melawan orang Islam. Mereka membentuk pemerintah boneka di Irak, Afganistan dan Pakistan atau negeri-negeri kaum Muslim yang lain, yang menjadi kepanjangan tangan (antek) mereka untuk memerangi orang-orang Islam yang dianggap mengancam kepentingan mereka, dengan dalih Perang Melawan Terorisme dan sebagainya.
Dengan dua skenario tersebut mereka pun melakukan pemetaan, atau tepatnya politik belah bambu: yang satu diinjak, yang satu diangkat. Apa yang sekarang dijadikan musuh mereka, yaitu Radikalisme dan Fundamentalisme mereka injak, sementara Liberalisme, Inklusifisme atau Moderat mereka angkat dan promosikan.
Selain itu, upaya deradikalisasi ideologi radikal juga mereka lakukan, antara lain dengan: (1) Pemberdayaan tokoh-tokoh moderat agama untuk menyebarluaskan ajaran moderat; (2) Interfaith dialogue (dialog antariman); (3) Menyebarluaskan buku-buku ajaran agama moderat; (4) Kurikulum lembaga-lembaga pendidikan keagamaan yang moderat; (5) Program rehabilitasi para teroris pada masa penahanan, menjalani hukuman di LP dan setelah menjalani hukuman; (6) Kemitraan dengan lembaga-lembaga kultural/budaya untuk menyosialisasikan bahaya terorisme serta menetralisasi radikalisme dan budaya kekerasan (Disarikan dari bahan Lokakarya Sespim 27/10/09: Kebijakan Penanggulangan Terorisme di Indonesia, oleh Ketua Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT) Irjen (Purn) Pol. Drs. AnsyaadMbai).
[Al-Islam 478] Tiga bulan pasca Tragedi JW Marioot-Rizt Carlton, isu terorisme terus berjalan berkesinambungan. Bahkan, terbunuhnya sejumlah para pelaku teror, tetap tidak menjadikan agenda terorisme ini berakhir. Justru tampak ada upaya yang lebih sistematis untuk mengembangkan isu terorisme ini bukan lagi untuk menindak para pelaku teror atau kekerasan, melainkan menindak setiap upaya untuk menegakkan Islam itu sendiri.
Lihat saja, labelisasi dan pengaitan aksi kekerasan dengan umat Islam yang dianggap memiliki agenda formalisasi syariah Islam. Padahal, banyak pengamat menilai, upaya pengaitan ini tampak dipaksakan, karena adanya jarak yang sangat jauh antara motif dan aksi sebagai metode untuk mewujudkan agenda-agenda kelompok yang dituding sebagai pelaku teror.
Belum lagi penangkapan oleh polisi terhadap 335 orang lebih yang disangka terkait dengan aksi teror. Begitu pula eksekusi oleh polisi terhadap 9 orang dalam drama di Temanggung, Jebres dan Ciputat yang ditayangkan TV, yang seakan tidak ada hak sama sekali bagi orang yang disangka “teroris” untuk membuktikan dirinya teroris atau tidak, dan mendapatkan peradilan yang transparan dan jujur di depan hukum.
Dari sudut pandang Hak Asasi Manusia (HAM), penanganan tersangka kasus teror oleh polisi juga diduga sarat dengan pelanggaran, seperti penetapan atau pengumuman orang masuk dalam DPO (daftar pencarian orang). Upaya ini dianggap tidak sesuai dengan prinsip praduga tak bersalah dan bertentangan dengan pasal 19 ayat 1 UU HAM. Intinya, tidak boleh pihak kepolisian mengumumkan seseorang masuk dalam DPO sebelum adanya putusan pengadilan. Demikian seperti diungkapkan oleh salah satu anggota Komnas HAM, Saharuding Daming (Detiknews, 26/8/09).
Selain itu, TV dan media massa yang lainnya pun telah dikontrol dan dipaksa berpihak kepada satu pihak, tanpa memberikan ruang yang cukup untuk melakukan klarifikasi kepada pihak lain. Opini pun dibentuk dan diarahkan untuk mengadili tersangka, dan membenarkan tindakan pengadilan sepihak itu.
Babak Baru Pemerintahan Baru
Kabinet baru pemerintahan SBY memasukkan agenda Perang Melawan Terorisme sebagai bagian dari program 100 hari pertama di bawah Menko Polhukam Marsekal (Purn.) Djoko Suyanto. Satu pertemuan National Summit, yang salah satu topik utamanya adalah terorisme, akan digelar pada 29-31 Oktober 2009 di Jakarta. Pertemuan ini merupakan ajang dialog pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam isu terorisme. Dalam pertemuan ini akan dibentuk komisi khusus penanganan terorisme (Detiknews, 25/10/09).
Sementara itu, dari diskusi yang diselenggarakan oleh CIDES dengan bertajuk, “Kepemimpinan SBY, Gerakan Terorisme dan Masa Depan Demokrasi Indonesia” di Hotel Sahid Jakarta (22/10/09) baru-baru ini, Ketua Desk Koordinator Pemberantasan Terorisme di Kementerian Kordinator Polhukam Ansyaad Mbai, melalui pernyataan dan makalah akademiknya, tampak berupaya mengaitkan dan menggeneralisasi tindakan dan kelompok teror sehingga mencakup semua kelompok dan umat Islam yang mengusung agenda penegakkan syariah. Akhirnya, upaya kontra terorisme pun bergeser pada penindakan apa yang disebutnya sebagai radikalisme agama, sehingga perlu ada upaya deradikalisasi. Tetapi, apa sesungguhnya radikalisme, batasan dan bentuknya? Ternyata tidak jelas.
Pertanyaan yang lebih penting dari semuanya itu adalah: jika perang melawan terorisme telah berubah dari memerangi pelaku teror atau kekerasan, kepada perang melawan perjuangan menegakkan kembali syariat Islam, lalu untuk kepentingan siapa perang ini?
Karena itu, jawabannya mudah. Jelas bukan untuk kepentingan Islam dan umatnya. Juga bukan untuk kepentingan Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim. Meski sering kali menggunakan kedok untuk menyelamatkan Indonesia.
Sejak awal, Hizbut Tahrir menyatakan dengan tegas, bahwa Perang Melawan Terorisme yang sesungguhnya adalah perang melawan Islam. Perang ini juga bukan untuk kepentingan Islam dan umatnya, tetapi untuk kepentingan negara-negara penjajah. Karena Islam dianggap sebagai ancaman potensial setelah runtuhnya Sosialisme dan Komunisme. Hanya saja, ada dua skenario yang mereka lakukan.
Pertama, mereka tidak akan menyerang langsung Islam, tetapi dengan menyamarkan serangan terhadap Islam itu dengan Perang Melawan Terorisme, Radikalisme atau Fundamentalisme, atau ungkapan-ungkapan kamuflase yang lainnya. Sebab, kalau mereka menyatakan secara terbuka perang melawan Islam, pasti mereka tidak akan menang.
Kedua, mereka juga tidak akan melakukan peperangan secara langsung dengan umat Islam, terutama setelah mereka membuktikan sendiri bahwa umat Islam tidak akan bisa dikalahkan, baik di Irak, Afganistan maupun Pakistan. Karena itu, mereka pun meminjam tangan-tangan orang Islam untuk berperang melawan orang Islam. Mereka membentuk pemerintah boneka di Irak, Afganistan dan Pakistan atau negeri-negeri kaum Muslim yang lain, yang menjadi kepanjangan tangan (antek) mereka untuk memerangi orang-orang Islam yang dianggap mengancam kepentingan mereka, dengan dalih Perang Melawan Terorisme dan sebagainya.
Dengan dua skenario tersebut mereka pun melakukan pemetaan, atau tepatnya politik belah bambu: yang satu diinjak, yang satu diangkat. Apa yang sekarang dijadikan musuh mereka, yaitu Radikalisme dan Fundamentalisme mereka injak, sementara Liberalisme, Inklusifisme atau Moderat mereka angkat dan promosikan.
Selain itu, upaya deradikalisasi ideologi radikal juga mereka lakukan, antara lain dengan: (1) Pemberdayaan tokoh-tokoh moderat agama untuk menyebarluaskan ajaran moderat; (2) Interfaith dialogue (dialog antariman); (3) Menyebarluaskan buku-buku ajaran agama moderat; (4) Kurikulum lembaga-lembaga pendidikan keagamaan yang moderat; (5) Program rehabilitasi para teroris pada masa penahanan, menjalani hukuman di LP dan setelah menjalani hukuman; (6) Kemitraan dengan lembaga-lembaga kultural/budaya untuk menyosialisasikan bahaya terorisme serta menetralisasi radikalisme dan budaya kekerasan (Disarikan dari bahan Lokakarya Sespim 27/10/09: Kebijakan Penanggulangan Terorisme di Indonesia, oleh Ketua Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT) Irjen (Purn) Pol. Drs. AnsyaadMbai).