Post by mancis on Mar 19, 2007 2:35:57 GMT -1
SIKAP PENGUASA
TERHADAP AL-QURAN
Oleh: MR Kurnia
Allah Swt. sayang kepada manusia. Salah satu buktinya, Dia yang Mahaperkasa menurunkan al-Quran. Dengan itulah manusia dapat menentukan mana perkara yang benar dan mana perkara yang salah. Baik buruk pun dengan jelas dapat dibedakan. Betapa tidak, al-Quran benar-benar merupakan furqân (pembeda). Kitabullah ini diturunkan untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan jahiliah menuju cahaya Islam, al-Quran adalah cahaya menuju ridha Allah Swt. Ibarat air yang cocok bagi kehidupan, begitu pula al-Quran bagi hidup dan kehidupan manusia. Melepaskan al-Quran berarti menjerumuskan diri ke dalam jurang kenestapaan.
Penguasa Kini
Sayang, jika dilihat dari realitas kekinian, para penguasa Muslim tampak mengerdilkan al-Quran. Sebagai contoh, ketika rame-rame isu Perda bernuansa syariah muncullah tanggapan peguasa bahwa negara ini bukanlah negara agama. Ada juga yang menggunakan cara apologetis dengan menyatakan ‘tidak ada Perda syariah, itu ‘kan perda antimaksiat’. Padahal, di antara isinya berupa keharusan umat Islam bisa membaca al-Quran sebelum menikah dan sekolah SMP. Mereka seakan-akan takut untuk menyuarakan secara tegas mengenai keharusan untuk menegakkan syariah Islam yang sumber utamanya adalah al-Quran.
Memang, penguasa tidak secara terbuka mengerdilkan al-Quran. Namun, realitas menunjukkan bahwa kebanyakan para penguasa hanya mengagungkan al-Quran sebatas simbolik. Miliaran rupiah dikeluarkan untuk menyelenggarakan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ). Tentu saja ada manfaatnya, yaitu simbolisasi kecintaan pada al-Quran atau setidaknya sebagai sarana mengingat al-Quran. Namun, setelah selesai, Pemerintah tetap meninggalkan hukum Islam yang terdapat dalam al-Quran. Al-Quran dibaca, tetapi tidak diterapkan; didengarkan, tetapi tidak dilaksanakan. Kalau demikian realitasnya, bukankah ini merupakan sebuah sikap mengkerdilkan al-Quran? Betapa tidak, al-Quran tidak diposisikan sesuai kedudukannya, yakni pedoman hidup dan sumber hukum. Sekalipun membaca al-Quran adalah ibadah, mendudukkan al-Quran hanya sebatas bacaan merupakan pengebirian. Coba bayangkan, banyak UU dibuat, tetapi tidak diterapkan, hanya dibaca. Tidak salah kalau kita mengatakan itu tindakan main-main. Padahal, al-Quran adalah undang-undang dari Allah Pencipta manusia.
Setiap tanggal 17 Ramadhan Nuzulul Quran diperingati. Ini adalah sikap mulia sebagai rasa syukur atas turunnya kitab petunjuk dari Allah. Namun, sekali lagi sayang, peringatan sebatas pada acara seremonial. Isi al-Quran tetap tidak diimplementasikan.
Bukan sekadar itu, sikap para penguasa Muslim saat ini jelas: menolak penerapan al-Quran. Buktinya? Sistem yang diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara adalah sekularisme. Dengan sekularisme berarti agama (baca: Islam) dipisahkan dari kehidupan. Al-Quran tidak boleh dijadikan sebagai sumber hukum dalam mengatur masyarakat dan negara. Alih-alih mengambil hukum dari al-Quran, justru penguasa mengambilnya dari J.J Rousou, John Lock, Voltaire, Adam Smith, Machiavelli, dll. Ekonomi yang diterapkan adalah ekonomi kapitalistik dengan riba sebagai tulang punggungnya. Padahal, al-Quran mengharam-kan riba. Bahkan, Rasulullah saw. pernah menyatakan bahwa dosa riba yang paling ringan adalah laksana seseorang ‘berhubungan’ dengan ibunya sendiri. Na‘ûdzu billâh.
Politik yang diterapkan merupakan politik yang sekularistik. Budaya yang dikembangkan adalah budaya hedonistik dan liberalistik. Al-Quran memerintahkan orang Mukmin untuk dijadikan sebagai wali (kawan/pelindung). Namun, realitas menunjukkan AS sang imperialislah yang justru dijadikan sebagai pemimpin, pelindung, dan penolong.
Tidak berhenti sampai di situ. Penguasa yang—menurut Rasul—harusnya menjadi benteng bagi umat, malah bertindak sebaliknya. Penghinaan terhadap al-Quran yang secara sistematis dilakukan atas nama liberalisme dibiarkan, bahkan dilembagakan dalam perguruan-perguruan tinggi tertentu. Barangkali ada benarnya Hartono A. Jaiz menulis buku ada pemurtadan di IAIN. Al-Quran dan lafal Allah diinjak-injak dibiarkan. Media massa yang mempropagandakan anti Islam dibiarkan. Kalau pun ditindak, lebih disebabkan karena adanya pengaduan, bukan bertindak sebagai benteng seperti seharusnya. Bahkan, ketika Salman Rushdie menulis al-Quran sebagai ayat-ayat setan (the Satanic Verses) para penguasa diam. Rasulullah saw. dihujat dengan dibuat kartun pada berbagai media massa dan didukung oleh negara Barat, mereka juga hanya diam seribu bahasa. Yang keluar pun paling keras hanya berupa kecaman. Akibatnya, al-Quran makin jauh dari umat. Jika ini yang terjadi, wajar jika kehidupan yang serba sempit (ma‘îsat[an] dhanka) menimpa umat ini.
Penguasa Islam Dulu
Ajaran Islam telah lengkap dan memenuhi syarat hidup. Namun, tetap saja diperlukan orang-orang yang menjaga, memelihara, dan menjaga al-Quran agar berarti dan memberi arti. Sebab, manusia jualah yang memberi arti terhadap kandungannya. Kitab suci al-Quran yang tidak dibaca dan dihidupkan dengan jiwa manusia hanya akan tinggal huruf-huruf mati belaka. Di sinilah peran penguasa untuk menjadikan al-Quran sebagai ruh dalam kehidupan.
Umat Islam pernah mencicipi kebahagiaan, kemegahan, dan keamanan yang sebenarnya. Umat Islam merasakan kenyamanan ketika berada di bawah kekuasaan yang dipimpin oleh para penguasa Muslim yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, menjaga Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, mengetahui batas-batasnya, serta menjalankan hukum-hukumnya. Para pemimpin umat dulu bisa hadir ke masjid bersama rakyat, membukakan pintu bagi mereka, menghormati pengunjung, memuliakan orang alim dan faqih, serta mendengarkan nasihat dan kritik mereka. Jihad senantiasa menjadi tujuan mereka, yang tidak sedetik pun mereka abaikan. Dengan akidah dan jihad mereka melindungi al-Quran pedoman umat. Mereka mencamkan perkataan Abu Bakar Shiddiq, “Suatu kaum tidak akan meninggalkan jihad kecuali mereka lemah tak berdaya.” Karenanya, upaya futûhât untuk menyampaikan risalah Islam yang dikandung dalam al-Quran dan as-Sunnah terjadi dengan amat menakjubkan.
Berbeda dengan dewasa ini, para penguasa dulu menjadikan al-Quran (dan as-Sunnah) sebagai satu-satunya sumber hukum negara. Sejarah mencatat dengan baik bahwa para penguasa sejak Khulafaur Rasyidin, Kekhilafahan Umayah, Abbasiyah, hingga Utsmaniyah menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai pegangan. Sebagai manusia, mereka memiliki kesalahan. Namun, secara umum mereka tetap menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai sumber aturan. Hingga Kekhilafahan Islam terakhir yang diruntuhkan 3 Maret 1924, al-Quran tetap dijadikan sebagai sumber aturan. Sejak Khilafah runtuh, barulah diterapkan sekularisme di negeri-negeri Islam.
Salah satu bukti kecintaan penguasa kala itu pada al-Quran adalah mereka berupaya untuk mengumpulkan al-Quran. Kitab suci yang berserakan di dalam hafalan Sahabat dan tulisan di pelepah kurma, kulit, dll dikumpulkan. Jerih payah mereka luar biasa. Sebagai sikap keimanan dan tanggung jawab, mereka bukan sekadar mengkompilasi saja. Mereka juga melakukan seleksi dan filterisasi mana yang benar al-Quran dan mana yang bukan. Akhirnya, dengan pertolongan Allah Swt. mereka pada masa Utsman bin Affan berhasil menjadikannya sebagai mushaf. Setelah itu disebarkanlah al-Quran ke Basrah, Kufah, dan berbagai tempat lain untuk dikaji dan diamalkan.
Abu Bakar sangat ketat menerapkan al-Quran. Pada masa kekhilafahannya terdapat sekelompok orang yang menolak kewajiban zakat. Mereka bughât dengan menentang sang Khalifah. Dengan penuh keyakinan, beliau segera menghentikan para penolak ayat tentang zakat tersebut. Sekalipun ’hanya’ satu ayat, bagi Abu Bakar hal itu merupakan tindak kekufuran. Begitulah upaya menjaga dan menerapkan al-Quran dicatat dengan tinta emas sejarah selama kurun Khulafau Rasyidin.
Sikap demikian dilanjutkan pada masa-masa berikutnya. Al-Quran tidak dapat dipisahkan dengan as-Sunnah. Pada sisi lain, telah banyak manusia yang berani membuat dan mengada-adakan hadis palsu. Tercatatlah ketika itu para pembuat hadis palsu, antara lain al-Muhalla bin Abi Sufrah, Abdullah bin Saba, dll. Khalifah tidak rela melihat situasi demikian. Islam yang dasarnya al-Quran dan al-Hadits harus dijaga. Itulah yang ada di benak Khalifah Umar bin Abdul Aziz (682 – 720 M). Setelah shalat istikharah untuk memohon petunjuk Allah Swt., Umar bin Abdul Aziz berupaya mengumpulkan hadis. Beliau menugaskan Ibnu Shihab az-Zuhri untuk mengumpulkan hadis-hadis yang bertebaran ke dalam sebuah buku. Setelah selesai, buku ini diperbanyak dan dimanfaatkan. Sayang, buku tersebut dilenyapkan musuh hingga tidak sampai ke generasi berikutnya.
Berbagai upaya dilakukan oleh Khalifah berikutnya untuk menjaga isi kandungan al-Quran. Para kaum zindiq yang berupaya untuk memutarbalikkan al-Quran tidak diberi ruang. Sungguh, pemandangan yang bertolak belakang dengan keadaan dewasa ini.
Sebagai wujud kecintaan pada al-Quran, dibentuklah berbagai majelis ilmu. Di Madinah terdapat Zaid bin Tsabit (meninggal 674 M). Beliau mengepalai bagian pengadilan, fatwa, pembacaan al-Quran dan ilmu warisan. Makkah dikunjungi para penuntut ilmu.
Para khalifah menyediakan fasilitas pendidikan untuk mengembangkan ilmu-ilmu al-Quran. Karena itu, pada masa Abbasiyah, sebagai contoh, muncullah para ulama terkenal di bidang qirâ’ah, ilmu baca al-Quran. Bermunculan pula para ahli tafsir seperti Ibnu Jarir ath-Thabari (839 – 923 M), yang dilahirkan di Thabristan, sebelah selatan laut Caspia. Tafsir terkenalnya adalah Jâmi‘ al-Bayân fî at-Tafsîr al-Qur’ân. Saking berkembangnya tafsir ini, Abdul Hamid al-Asfarai mengatakan, “Jika seseorang berangkat ke negeri Cina, lalu di sana ia menemukan kitab tafsir Muhammad bin Jarir ath-Thabari, maka hal itu bukanlah suatu soal yang besar.”
Pada masa pemerintahan Islam, pemerintah menghargai para ulama dan karya-karya mereka. Salah satu bentuknya adalah pemerintah memberikan penghargaan kepada para penulis buku Islam dengan imbalan emas seberat timbangan buku karyanya. Bahkan, ulama memiliki kedudukan sangat tinggi. Mereka disegani. Nasihat dan kritiknya dinanti.
Pemandangan seperti ini terus terlihat sepanjang sejarah Islam. Menjelang keruntuhan Khilafah Utsmaniyah, Khalifah Abdul Hamid tetap tegas menjaga hukum al-Quran. Ketika utusan Yahudi meminta tanah Palestina untuk dijadikan negara Israel, Khalifah menjawab dengan tegas. “Tanah Palestina bukan tanahku. Itu adalah tanah kaum Muslim. Tak akan pernah aku serahkan kepada kalian,” ujarnya. Pada saat itu, beliau sedang berpegang pada ayat 1 dari surat al-Isra. Palestina adalah tanah yang diberkati, tanah Isra dan Mikraj, tanah kharaj milik seluruh kaum Muslim. Dalam rangka mempertahankannya beliau rela berkorban jiwa.
Last but not least, berdasarkan hal tersebut menjadi jelas betapa sejelek-jeleknya penguasa Islam dulu di mata para penulis Barat, mereka tetap menjunjung tinggi al-Quran, menjaga, memelihara dan menerapkan hukum-hukumnya. Namun, berbeda dengan itu, mayoritas penguasa Muslim sekarang justru lebih suka dipuja dan dipuji para penulis dan pengamat dari negara imperialis sekalipun harus dengan mengerdilkan al-Quran.
Semestinya, penguasa dan umatnya bersama-sama menerapkan, menjaga dan membela al-Quran. Bukankah Rasulullah, Sahabat, dan para khalifah terdahulu telah mempertahankan ayat demi ayat al-Quran dengan perjuangan, pengorbanan, bahkan air mata dan jiwa raga? Sadarlah, seperti kata Nabi, siapa yang meletakkan al-Quran sebagai pemimpin di depannya niscaya ia akan menuntunnya ke surga. Sebaliknya, siapa saja yang menaruh al-Quran di belakangnya niscaya ia menjerumuskannya ke neraka. Na‘ûdzu billâh min dzâlik!
TERHADAP AL-QURAN
Oleh: MR Kurnia
Allah Swt. sayang kepada manusia. Salah satu buktinya, Dia yang Mahaperkasa menurunkan al-Quran. Dengan itulah manusia dapat menentukan mana perkara yang benar dan mana perkara yang salah. Baik buruk pun dengan jelas dapat dibedakan. Betapa tidak, al-Quran benar-benar merupakan furqân (pembeda). Kitabullah ini diturunkan untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan jahiliah menuju cahaya Islam, al-Quran adalah cahaya menuju ridha Allah Swt. Ibarat air yang cocok bagi kehidupan, begitu pula al-Quran bagi hidup dan kehidupan manusia. Melepaskan al-Quran berarti menjerumuskan diri ke dalam jurang kenestapaan.
Penguasa Kini
Sayang, jika dilihat dari realitas kekinian, para penguasa Muslim tampak mengerdilkan al-Quran. Sebagai contoh, ketika rame-rame isu Perda bernuansa syariah muncullah tanggapan peguasa bahwa negara ini bukanlah negara agama. Ada juga yang menggunakan cara apologetis dengan menyatakan ‘tidak ada Perda syariah, itu ‘kan perda antimaksiat’. Padahal, di antara isinya berupa keharusan umat Islam bisa membaca al-Quran sebelum menikah dan sekolah SMP. Mereka seakan-akan takut untuk menyuarakan secara tegas mengenai keharusan untuk menegakkan syariah Islam yang sumber utamanya adalah al-Quran.
Memang, penguasa tidak secara terbuka mengerdilkan al-Quran. Namun, realitas menunjukkan bahwa kebanyakan para penguasa hanya mengagungkan al-Quran sebatas simbolik. Miliaran rupiah dikeluarkan untuk menyelenggarakan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ). Tentu saja ada manfaatnya, yaitu simbolisasi kecintaan pada al-Quran atau setidaknya sebagai sarana mengingat al-Quran. Namun, setelah selesai, Pemerintah tetap meninggalkan hukum Islam yang terdapat dalam al-Quran. Al-Quran dibaca, tetapi tidak diterapkan; didengarkan, tetapi tidak dilaksanakan. Kalau demikian realitasnya, bukankah ini merupakan sebuah sikap mengkerdilkan al-Quran? Betapa tidak, al-Quran tidak diposisikan sesuai kedudukannya, yakni pedoman hidup dan sumber hukum. Sekalipun membaca al-Quran adalah ibadah, mendudukkan al-Quran hanya sebatas bacaan merupakan pengebirian. Coba bayangkan, banyak UU dibuat, tetapi tidak diterapkan, hanya dibaca. Tidak salah kalau kita mengatakan itu tindakan main-main. Padahal, al-Quran adalah undang-undang dari Allah Pencipta manusia.
Setiap tanggal 17 Ramadhan Nuzulul Quran diperingati. Ini adalah sikap mulia sebagai rasa syukur atas turunnya kitab petunjuk dari Allah. Namun, sekali lagi sayang, peringatan sebatas pada acara seremonial. Isi al-Quran tetap tidak diimplementasikan.
Bukan sekadar itu, sikap para penguasa Muslim saat ini jelas: menolak penerapan al-Quran. Buktinya? Sistem yang diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara adalah sekularisme. Dengan sekularisme berarti agama (baca: Islam) dipisahkan dari kehidupan. Al-Quran tidak boleh dijadikan sebagai sumber hukum dalam mengatur masyarakat dan negara. Alih-alih mengambil hukum dari al-Quran, justru penguasa mengambilnya dari J.J Rousou, John Lock, Voltaire, Adam Smith, Machiavelli, dll. Ekonomi yang diterapkan adalah ekonomi kapitalistik dengan riba sebagai tulang punggungnya. Padahal, al-Quran mengharam-kan riba. Bahkan, Rasulullah saw. pernah menyatakan bahwa dosa riba yang paling ringan adalah laksana seseorang ‘berhubungan’ dengan ibunya sendiri. Na‘ûdzu billâh.
Politik yang diterapkan merupakan politik yang sekularistik. Budaya yang dikembangkan adalah budaya hedonistik dan liberalistik. Al-Quran memerintahkan orang Mukmin untuk dijadikan sebagai wali (kawan/pelindung). Namun, realitas menunjukkan AS sang imperialislah yang justru dijadikan sebagai pemimpin, pelindung, dan penolong.
Tidak berhenti sampai di situ. Penguasa yang—menurut Rasul—harusnya menjadi benteng bagi umat, malah bertindak sebaliknya. Penghinaan terhadap al-Quran yang secara sistematis dilakukan atas nama liberalisme dibiarkan, bahkan dilembagakan dalam perguruan-perguruan tinggi tertentu. Barangkali ada benarnya Hartono A. Jaiz menulis buku ada pemurtadan di IAIN. Al-Quran dan lafal Allah diinjak-injak dibiarkan. Media massa yang mempropagandakan anti Islam dibiarkan. Kalau pun ditindak, lebih disebabkan karena adanya pengaduan, bukan bertindak sebagai benteng seperti seharusnya. Bahkan, ketika Salman Rushdie menulis al-Quran sebagai ayat-ayat setan (the Satanic Verses) para penguasa diam. Rasulullah saw. dihujat dengan dibuat kartun pada berbagai media massa dan didukung oleh negara Barat, mereka juga hanya diam seribu bahasa. Yang keluar pun paling keras hanya berupa kecaman. Akibatnya, al-Quran makin jauh dari umat. Jika ini yang terjadi, wajar jika kehidupan yang serba sempit (ma‘îsat[an] dhanka) menimpa umat ini.
Penguasa Islam Dulu
Ajaran Islam telah lengkap dan memenuhi syarat hidup. Namun, tetap saja diperlukan orang-orang yang menjaga, memelihara, dan menjaga al-Quran agar berarti dan memberi arti. Sebab, manusia jualah yang memberi arti terhadap kandungannya. Kitab suci al-Quran yang tidak dibaca dan dihidupkan dengan jiwa manusia hanya akan tinggal huruf-huruf mati belaka. Di sinilah peran penguasa untuk menjadikan al-Quran sebagai ruh dalam kehidupan.
Umat Islam pernah mencicipi kebahagiaan, kemegahan, dan keamanan yang sebenarnya. Umat Islam merasakan kenyamanan ketika berada di bawah kekuasaan yang dipimpin oleh para penguasa Muslim yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, menjaga Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, mengetahui batas-batasnya, serta menjalankan hukum-hukumnya. Para pemimpin umat dulu bisa hadir ke masjid bersama rakyat, membukakan pintu bagi mereka, menghormati pengunjung, memuliakan orang alim dan faqih, serta mendengarkan nasihat dan kritik mereka. Jihad senantiasa menjadi tujuan mereka, yang tidak sedetik pun mereka abaikan. Dengan akidah dan jihad mereka melindungi al-Quran pedoman umat. Mereka mencamkan perkataan Abu Bakar Shiddiq, “Suatu kaum tidak akan meninggalkan jihad kecuali mereka lemah tak berdaya.” Karenanya, upaya futûhât untuk menyampaikan risalah Islam yang dikandung dalam al-Quran dan as-Sunnah terjadi dengan amat menakjubkan.
Berbeda dengan dewasa ini, para penguasa dulu menjadikan al-Quran (dan as-Sunnah) sebagai satu-satunya sumber hukum negara. Sejarah mencatat dengan baik bahwa para penguasa sejak Khulafaur Rasyidin, Kekhilafahan Umayah, Abbasiyah, hingga Utsmaniyah menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai pegangan. Sebagai manusia, mereka memiliki kesalahan. Namun, secara umum mereka tetap menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai sumber aturan. Hingga Kekhilafahan Islam terakhir yang diruntuhkan 3 Maret 1924, al-Quran tetap dijadikan sebagai sumber aturan. Sejak Khilafah runtuh, barulah diterapkan sekularisme di negeri-negeri Islam.
Salah satu bukti kecintaan penguasa kala itu pada al-Quran adalah mereka berupaya untuk mengumpulkan al-Quran. Kitab suci yang berserakan di dalam hafalan Sahabat dan tulisan di pelepah kurma, kulit, dll dikumpulkan. Jerih payah mereka luar biasa. Sebagai sikap keimanan dan tanggung jawab, mereka bukan sekadar mengkompilasi saja. Mereka juga melakukan seleksi dan filterisasi mana yang benar al-Quran dan mana yang bukan. Akhirnya, dengan pertolongan Allah Swt. mereka pada masa Utsman bin Affan berhasil menjadikannya sebagai mushaf. Setelah itu disebarkanlah al-Quran ke Basrah, Kufah, dan berbagai tempat lain untuk dikaji dan diamalkan.
Abu Bakar sangat ketat menerapkan al-Quran. Pada masa kekhilafahannya terdapat sekelompok orang yang menolak kewajiban zakat. Mereka bughât dengan menentang sang Khalifah. Dengan penuh keyakinan, beliau segera menghentikan para penolak ayat tentang zakat tersebut. Sekalipun ’hanya’ satu ayat, bagi Abu Bakar hal itu merupakan tindak kekufuran. Begitulah upaya menjaga dan menerapkan al-Quran dicatat dengan tinta emas sejarah selama kurun Khulafau Rasyidin.
Sikap demikian dilanjutkan pada masa-masa berikutnya. Al-Quran tidak dapat dipisahkan dengan as-Sunnah. Pada sisi lain, telah banyak manusia yang berani membuat dan mengada-adakan hadis palsu. Tercatatlah ketika itu para pembuat hadis palsu, antara lain al-Muhalla bin Abi Sufrah, Abdullah bin Saba, dll. Khalifah tidak rela melihat situasi demikian. Islam yang dasarnya al-Quran dan al-Hadits harus dijaga. Itulah yang ada di benak Khalifah Umar bin Abdul Aziz (682 – 720 M). Setelah shalat istikharah untuk memohon petunjuk Allah Swt., Umar bin Abdul Aziz berupaya mengumpulkan hadis. Beliau menugaskan Ibnu Shihab az-Zuhri untuk mengumpulkan hadis-hadis yang bertebaran ke dalam sebuah buku. Setelah selesai, buku ini diperbanyak dan dimanfaatkan. Sayang, buku tersebut dilenyapkan musuh hingga tidak sampai ke generasi berikutnya.
Berbagai upaya dilakukan oleh Khalifah berikutnya untuk menjaga isi kandungan al-Quran. Para kaum zindiq yang berupaya untuk memutarbalikkan al-Quran tidak diberi ruang. Sungguh, pemandangan yang bertolak belakang dengan keadaan dewasa ini.
Sebagai wujud kecintaan pada al-Quran, dibentuklah berbagai majelis ilmu. Di Madinah terdapat Zaid bin Tsabit (meninggal 674 M). Beliau mengepalai bagian pengadilan, fatwa, pembacaan al-Quran dan ilmu warisan. Makkah dikunjungi para penuntut ilmu.
Para khalifah menyediakan fasilitas pendidikan untuk mengembangkan ilmu-ilmu al-Quran. Karena itu, pada masa Abbasiyah, sebagai contoh, muncullah para ulama terkenal di bidang qirâ’ah, ilmu baca al-Quran. Bermunculan pula para ahli tafsir seperti Ibnu Jarir ath-Thabari (839 – 923 M), yang dilahirkan di Thabristan, sebelah selatan laut Caspia. Tafsir terkenalnya adalah Jâmi‘ al-Bayân fî at-Tafsîr al-Qur’ân. Saking berkembangnya tafsir ini, Abdul Hamid al-Asfarai mengatakan, “Jika seseorang berangkat ke negeri Cina, lalu di sana ia menemukan kitab tafsir Muhammad bin Jarir ath-Thabari, maka hal itu bukanlah suatu soal yang besar.”
Pada masa pemerintahan Islam, pemerintah menghargai para ulama dan karya-karya mereka. Salah satu bentuknya adalah pemerintah memberikan penghargaan kepada para penulis buku Islam dengan imbalan emas seberat timbangan buku karyanya. Bahkan, ulama memiliki kedudukan sangat tinggi. Mereka disegani. Nasihat dan kritiknya dinanti.
Pemandangan seperti ini terus terlihat sepanjang sejarah Islam. Menjelang keruntuhan Khilafah Utsmaniyah, Khalifah Abdul Hamid tetap tegas menjaga hukum al-Quran. Ketika utusan Yahudi meminta tanah Palestina untuk dijadikan negara Israel, Khalifah menjawab dengan tegas. “Tanah Palestina bukan tanahku. Itu adalah tanah kaum Muslim. Tak akan pernah aku serahkan kepada kalian,” ujarnya. Pada saat itu, beliau sedang berpegang pada ayat 1 dari surat al-Isra. Palestina adalah tanah yang diberkati, tanah Isra dan Mikraj, tanah kharaj milik seluruh kaum Muslim. Dalam rangka mempertahankannya beliau rela berkorban jiwa.
Last but not least, berdasarkan hal tersebut menjadi jelas betapa sejelek-jeleknya penguasa Islam dulu di mata para penulis Barat, mereka tetap menjunjung tinggi al-Quran, menjaga, memelihara dan menerapkan hukum-hukumnya. Namun, berbeda dengan itu, mayoritas penguasa Muslim sekarang justru lebih suka dipuja dan dipuji para penulis dan pengamat dari negara imperialis sekalipun harus dengan mengerdilkan al-Quran.
Semestinya, penguasa dan umatnya bersama-sama menerapkan, menjaga dan membela al-Quran. Bukankah Rasulullah, Sahabat, dan para khalifah terdahulu telah mempertahankan ayat demi ayat al-Quran dengan perjuangan, pengorbanan, bahkan air mata dan jiwa raga? Sadarlah, seperti kata Nabi, siapa yang meletakkan al-Quran sebagai pemimpin di depannya niscaya ia akan menuntunnya ke surga. Sebaliknya, siapa saja yang menaruh al-Quran di belakangnya niscaya ia menjerumuskannya ke neraka. Na‘ûdzu billâh min dzâlik!