Post by jepun pancung on Oct 5, 2006 4:51:24 GMT -1
KEPEMILIKAN
(AL-MILKIYAH)
Al-Milkiyah berasal dari kata al-milk bentukan dari kata malaka – yamliku – malkan wa mulkan wa milkan. Malaka artinya menguasai atau memiliki. Menurut Ibn Sayidih, al-malk, al-mulk atau al-milk adalah pemilikan (penguasaan) sesuatu dan kemampuan berbuat sesuai keinginan terhadap sesuatu itu.1 Al-Milkiyah dapat diartikan ownership. Di dalam ensiklopedia Wikipedia, ownership adalah fakta atau status dari pemilikan ekslusif atau kendali atas suatu kekayaan (property).2* Jadi kepemilikan artinya adalah pemilikan sesuatu harta, di dalamnya tercakup adanya penguasaan dan kendali atas harta tersebut.
Kepemilikan hakiki adalah milik Allah. Allahlah pemilik segala kekuasaan/kepemilikan (al-Mâlik al-mulk). Allah sendiri telah menyatakan bahwa harta itu (hakikatnya) adalah milik-Nya:
...æóÁóÇÊõæåõãú ãöäú ãóÇáö Çááøóåö ÇáøóÐöí ÁóÇÊóÇßõã...
Berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan (diberikan)-Nya kepada kalian. (QS an-Nur [24]: 33).
Hanya saja, Allah Swt. telah memberikan kekuasaan atas harta kepada manusia sekaligus menjadikan harta itu sebagai hak pemilikan manusia. Allah Swt. berfirman:
...æóÃóäúÝöÞõæÇ ãöãøóÇ ÌóÚóáóßõãú ãõÓúÊóÎúáóÝöíäó Ýöíåö...
Nafkahkanlah sebagian dari harta kalian yang Allah telah menjadikan kalian menguasainya (QS al-Hadid [57]: 7).
Karenanya ketika menjelaskan asal kepemilikan, Allah menisbatkan harta kepada Diri-Nya: mâl Allâh (harta Allah). Lalu ketika menjelaskan perpindahan kepemilikan kepada manusia, Allah menisbatkan harta kepada manusia: amwâlihim (harta mereka) (QS an-Nisa’ [5]: 6; QS at-Taubah [9]: 103); amwâlikum (harta kalian) (QS al-Baqarah [2]: 279); mâluhu (hartanya) (QS al-Lail [92]: 11).
Setiap manusia berhak untuk memiliki suatu harta atau berhak mendapatkan pengalihan hak penguasaan/pemilikan atas suatu harta dari harta milik Allah. Dengan demikian kepemilikan tersebut merupakan hak pemilikan, bukan kepemilikan secara real.
Kepemilikan real sendiri harus dengan izin dari Allah sebagai Pemilik hakiki harta. Tanpa izin tersebut, penguasaan/pemilikan atas harta itu tidak sah. Dengan mendapatkan izin itu, seseorang atau satu pihak sah untuk memanfaatkannya. Dengan demikian, kepemilikan itu tidak lain adalah izin dari Asy-Syâri‘ untuk memanfaatkan suatu harta. Izin ini berlaku atas harta berupa barang atau jasa.
Pihak yang diberi izin itu dapat dibagi menjadi: individu; masyarakat secara umum; dan negara. Karena itu, dari sisi ini kepemilikan dapat dibagi menjadi tiga macam: kepemilikan individu; kepemilikan umum; dan kepemilikan negara.
A.Kepemilikan Individu
Kepemilikan individu (al-milkiyyah al-fardiyyah) adalah izin dari Asy-Syâri’ kepada individu untuk memanfaatkan suatu barang atau jasa.
Karena merupakan izin dari Asy-Syâri’, kepemilikan hanya ditetapkan berdasarkan ketetapan dari Asy-Syâri’. Ketetapan itu mencakup:
Pertama, ketetapan tentang barang atau jasa yang diizinkan (dibolehkan) untuk dimiliki dan yang tidak. Dalam hal ini, Allah telah menyifati sesuatu dengan halal dan haram.
Kedua, ketetapan tentang tatacara perolehan harta yang diizinkan (dibolehkan) dan yang tidak. Perolehan harta itu bisa melalui: sebab-sebab kepemilikan harta dan sebab-sebab pengembangan harta.
1. Sebab-sebab kepemilikan harta.
Maknanya adalah tatacara seseorang untuk memperoleh harta yang sebelumnya belum ia miliki. Dalam hal ini, Allah, misalnya, melarang sebab-sebab atau tatacara perolehan harta tertentu dengan cara mencuri, merampok, korupsi, menipu, dan sebagainya. Sebaliknya, Allah mengizinkan sebab-sebab pemilikan harta tertentu seperti dengan jual-beli, sewa-menyewa, pinjaman yang syar‘i; hibah dan hadiah; berburu; dsb.
Dalam Islam, sebab-sebab kepemilikan itu ada lima:
(1) Bekerja: meliputi aktivitas menghidupkan tanah mati, menggali kandungan bumi, berburu, makelar, menjadi pesero dengan andil tenaga atau menjadi mudhârib, musaqah (mengairi lahan), dan menjadi âjîr (pekerja) dalam akad ijârah.
(2) Pewarisan.
(3) Keperluan akan harta untuk menyambung hidup.
(4) Pemberian negara kepada rakyat (i‘thâ’ ad-dawlah).
(5) Perolehan seseorang atas harta tanpa mengeluarkan harta atau tenaga. Sebab kepemilikan yang kelima ini meliputi: harta yang diperoleh karena hubungan pribadi seperti hibah dan hadiah atau wasiat; harta yang diperoleh sebagai ganti rugi dari kemudharatan yang menimpa seseorang seperti diyat; mahar berikut harta yang diperoleh melalui akad nikah; luqathah (barang temuan di jalan) yang bukan milik orang yang sedang ihram.
Izin Asy-Syâri‘ untuk memanfaatkan sesuatu itu juga mencakup ketetapan jenis pemanfaatan yang boleh dalam bentuk aktivitas konsumsi dan infak. Infak di sini adalah memberikan harta tanpa kompensasi apapun. Bentuknya adalah infak wajib berupa zakat; nafkah; dan pemberian kepada orang lain (sedekah, hadiah, hibah, wakaf, dan wasiat.
2. Sebab-sebab pengembangan harta.
Maknanya adalah tatacara seseorang mengembangkan harta yang sudah dia miliki. Pengembangan kepemilikan itu bisa terjadi melalui tiga mekanisme: dengan mengembang-kan tanah melalui aktivitas pertanian; dengan mempertukarkan harta melalui aktivitas perdagangan; atau dengan aktivitas industri, yaitu mengubah bentuk harta yang dimiliki ke bentuk lain. Di sinilah syariah menjelaskan hukum-hukum tentang pertanian meliputi status dan hukum tanah, aktivitas menghidup-kan tanah mati, dan hak pengelolaan tanah. Namun, syariah melarang penyewaan lahan pertanian. Syariah juga menjelaskan hukum-hukum tentang industri, menetapkan status industri mengikuti produk yang dihasilkan, di samping menjelaskan hukum tentang kontrak kerja. Berkaitan dengan hukum-hukum perdagangan (jual-beli), syariah pun telah menjelaskan tentang akad jual-beli biasa, jual-beli secara pesanan (bay’ as-salam/as-salaf atau al-istishnâ’) termasuk di dalamnya bay’ al-’irbûn, dan jual-beli kredit (bay’ bi ad-dayn wa at-taqsîth) berikut ketentuan masing-masingnya. Sebaliknya, syariah telah melarang seseorang menjual sesuatu yang bukan atau belum menjadi miliknya, melarang bay‘ al-gharar, ijon, jual-beli buah yang masih dipohon dan belum mulai matang, jual-beli ikan yang masih di dalam air. Pengembangan kepemilikan itu di samping dilakukan secara sendiri, juga sering dilakukan bekerjasama dengan orang lain dalam sebuah perseroan. Karena itu, syariah menetapkan dan menjelaskan ketentuan perseroan yang boleh meliputi perseroan ‘abdan, mudhârabah, mufâwadhah, wujûh dan ‘inân. Sebaliknya, syariah melarang perseroan kapitalis baik perseroan saham, firma, koperasi, maupun asuransi. Disamping semua itu, syariah juga melarang tatacara pengembangan kepemilikan tertentu, seperti riba, perjudian, manipulasi harga memanfaatkan ketidaktahuan salah satu pihak atas harga pasar, manipulasi produk yang diperjualbelikan, penimbunan dan pematokan harga.
Walhasil, keabsahan kepemilikan harta oleh seseorang harus memenuhi dua syarat. Pertama, harta yang dimiliki itu harus halal zatnya. Kedua, harta itu harus diperoleh dengan tatacara perolehan yang dibenarkan syariah. Jika keduanya terpenuhi maka kepemilikannya itu sah.
B.Kepemilikan Umum
Kepemilikan umum adalah izin Asy-Syâri‘ kepada komunitas masyarakat untuk sama-sama memanfaatkan sesuatu. Kepimilikan umum menyangkut tiga jenis: (1) fasilitas umum yang jika tidak ada akan terjadi sengketa dalam mencarinya; (2) barang tambang yang depositnya besar; (3) harta yang pembentukan-nya menghalangi untuk dimiliki individu, seperti sungai, danau, laut, jalan umum, lapangan, masjid, dsb. Harta milik umum ini tidak boleh dikuasai individu atau kelompok. Harta jenis ini harus dikelola negara sebagai wakil umat dan hasil sepenuhnya dikembalikan kepada umat.
C.Kepemilikan Negara
Kepemilikan negara adalah harta yang ditetapkan Allah menjadi hak seluruh kaum Muslim. Wewenang pengelolaannya diserah-kan kepada Khalifah sesuai dengan pandangan-nya. Harta milik negara ini mencakup jizyah, kharaj, ghanîmah, fa’i, warisan yang tidak ada ahli warisnya, khumûs rikâz dan luqâthah, harta orang murtad, harta ghulûl penguasa dan pegawai negara, dan denda sanksi pidana; juga termasuk harta milik negara berupa padang pasir, gunung, pantai dan tanah mati yang belum ada pemiliknya, ash-shawafi, dan semua harta milik negara yang dibebaskan oleh Daulah Islam. Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman].
Catatan Kaki
1 Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab, X/492.
2 Wikipedia.org.
(AL-MILKIYAH)
Al-Milkiyah berasal dari kata al-milk bentukan dari kata malaka – yamliku – malkan wa mulkan wa milkan. Malaka artinya menguasai atau memiliki. Menurut Ibn Sayidih, al-malk, al-mulk atau al-milk adalah pemilikan (penguasaan) sesuatu dan kemampuan berbuat sesuai keinginan terhadap sesuatu itu.1 Al-Milkiyah dapat diartikan ownership. Di dalam ensiklopedia Wikipedia, ownership adalah fakta atau status dari pemilikan ekslusif atau kendali atas suatu kekayaan (property).2* Jadi kepemilikan artinya adalah pemilikan sesuatu harta, di dalamnya tercakup adanya penguasaan dan kendali atas harta tersebut.
Kepemilikan hakiki adalah milik Allah. Allahlah pemilik segala kekuasaan/kepemilikan (al-Mâlik al-mulk). Allah sendiri telah menyatakan bahwa harta itu (hakikatnya) adalah milik-Nya:
...æóÁóÇÊõæåõãú ãöäú ãóÇáö Çááøóåö ÇáøóÐöí ÁóÇÊóÇßõã...
Berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan (diberikan)-Nya kepada kalian. (QS an-Nur [24]: 33).
Hanya saja, Allah Swt. telah memberikan kekuasaan atas harta kepada manusia sekaligus menjadikan harta itu sebagai hak pemilikan manusia. Allah Swt. berfirman:
...æóÃóäúÝöÞõæÇ ãöãøóÇ ÌóÚóáóßõãú ãõÓúÊóÎúáóÝöíäó Ýöíåö...
Nafkahkanlah sebagian dari harta kalian yang Allah telah menjadikan kalian menguasainya (QS al-Hadid [57]: 7).
Karenanya ketika menjelaskan asal kepemilikan, Allah menisbatkan harta kepada Diri-Nya: mâl Allâh (harta Allah). Lalu ketika menjelaskan perpindahan kepemilikan kepada manusia, Allah menisbatkan harta kepada manusia: amwâlihim (harta mereka) (QS an-Nisa’ [5]: 6; QS at-Taubah [9]: 103); amwâlikum (harta kalian) (QS al-Baqarah [2]: 279); mâluhu (hartanya) (QS al-Lail [92]: 11).
Setiap manusia berhak untuk memiliki suatu harta atau berhak mendapatkan pengalihan hak penguasaan/pemilikan atas suatu harta dari harta milik Allah. Dengan demikian kepemilikan tersebut merupakan hak pemilikan, bukan kepemilikan secara real.
Kepemilikan real sendiri harus dengan izin dari Allah sebagai Pemilik hakiki harta. Tanpa izin tersebut, penguasaan/pemilikan atas harta itu tidak sah. Dengan mendapatkan izin itu, seseorang atau satu pihak sah untuk memanfaatkannya. Dengan demikian, kepemilikan itu tidak lain adalah izin dari Asy-Syâri‘ untuk memanfaatkan suatu harta. Izin ini berlaku atas harta berupa barang atau jasa.
Pihak yang diberi izin itu dapat dibagi menjadi: individu; masyarakat secara umum; dan negara. Karena itu, dari sisi ini kepemilikan dapat dibagi menjadi tiga macam: kepemilikan individu; kepemilikan umum; dan kepemilikan negara.
A.Kepemilikan Individu
Kepemilikan individu (al-milkiyyah al-fardiyyah) adalah izin dari Asy-Syâri’ kepada individu untuk memanfaatkan suatu barang atau jasa.
Karena merupakan izin dari Asy-Syâri’, kepemilikan hanya ditetapkan berdasarkan ketetapan dari Asy-Syâri’. Ketetapan itu mencakup:
Pertama, ketetapan tentang barang atau jasa yang diizinkan (dibolehkan) untuk dimiliki dan yang tidak. Dalam hal ini, Allah telah menyifati sesuatu dengan halal dan haram.
Kedua, ketetapan tentang tatacara perolehan harta yang diizinkan (dibolehkan) dan yang tidak. Perolehan harta itu bisa melalui: sebab-sebab kepemilikan harta dan sebab-sebab pengembangan harta.
1. Sebab-sebab kepemilikan harta.
Maknanya adalah tatacara seseorang untuk memperoleh harta yang sebelumnya belum ia miliki. Dalam hal ini, Allah, misalnya, melarang sebab-sebab atau tatacara perolehan harta tertentu dengan cara mencuri, merampok, korupsi, menipu, dan sebagainya. Sebaliknya, Allah mengizinkan sebab-sebab pemilikan harta tertentu seperti dengan jual-beli, sewa-menyewa, pinjaman yang syar‘i; hibah dan hadiah; berburu; dsb.
Dalam Islam, sebab-sebab kepemilikan itu ada lima:
(1) Bekerja: meliputi aktivitas menghidupkan tanah mati, menggali kandungan bumi, berburu, makelar, menjadi pesero dengan andil tenaga atau menjadi mudhârib, musaqah (mengairi lahan), dan menjadi âjîr (pekerja) dalam akad ijârah.
(2) Pewarisan.
(3) Keperluan akan harta untuk menyambung hidup.
(4) Pemberian negara kepada rakyat (i‘thâ’ ad-dawlah).
(5) Perolehan seseorang atas harta tanpa mengeluarkan harta atau tenaga. Sebab kepemilikan yang kelima ini meliputi: harta yang diperoleh karena hubungan pribadi seperti hibah dan hadiah atau wasiat; harta yang diperoleh sebagai ganti rugi dari kemudharatan yang menimpa seseorang seperti diyat; mahar berikut harta yang diperoleh melalui akad nikah; luqathah (barang temuan di jalan) yang bukan milik orang yang sedang ihram.
Izin Asy-Syâri‘ untuk memanfaatkan sesuatu itu juga mencakup ketetapan jenis pemanfaatan yang boleh dalam bentuk aktivitas konsumsi dan infak. Infak di sini adalah memberikan harta tanpa kompensasi apapun. Bentuknya adalah infak wajib berupa zakat; nafkah; dan pemberian kepada orang lain (sedekah, hadiah, hibah, wakaf, dan wasiat.
2. Sebab-sebab pengembangan harta.
Maknanya adalah tatacara seseorang mengembangkan harta yang sudah dia miliki. Pengembangan kepemilikan itu bisa terjadi melalui tiga mekanisme: dengan mengembang-kan tanah melalui aktivitas pertanian; dengan mempertukarkan harta melalui aktivitas perdagangan; atau dengan aktivitas industri, yaitu mengubah bentuk harta yang dimiliki ke bentuk lain. Di sinilah syariah menjelaskan hukum-hukum tentang pertanian meliputi status dan hukum tanah, aktivitas menghidup-kan tanah mati, dan hak pengelolaan tanah. Namun, syariah melarang penyewaan lahan pertanian. Syariah juga menjelaskan hukum-hukum tentang industri, menetapkan status industri mengikuti produk yang dihasilkan, di samping menjelaskan hukum tentang kontrak kerja. Berkaitan dengan hukum-hukum perdagangan (jual-beli), syariah pun telah menjelaskan tentang akad jual-beli biasa, jual-beli secara pesanan (bay’ as-salam/as-salaf atau al-istishnâ’) termasuk di dalamnya bay’ al-’irbûn, dan jual-beli kredit (bay’ bi ad-dayn wa at-taqsîth) berikut ketentuan masing-masingnya. Sebaliknya, syariah telah melarang seseorang menjual sesuatu yang bukan atau belum menjadi miliknya, melarang bay‘ al-gharar, ijon, jual-beli buah yang masih dipohon dan belum mulai matang, jual-beli ikan yang masih di dalam air. Pengembangan kepemilikan itu di samping dilakukan secara sendiri, juga sering dilakukan bekerjasama dengan orang lain dalam sebuah perseroan. Karena itu, syariah menetapkan dan menjelaskan ketentuan perseroan yang boleh meliputi perseroan ‘abdan, mudhârabah, mufâwadhah, wujûh dan ‘inân. Sebaliknya, syariah melarang perseroan kapitalis baik perseroan saham, firma, koperasi, maupun asuransi. Disamping semua itu, syariah juga melarang tatacara pengembangan kepemilikan tertentu, seperti riba, perjudian, manipulasi harga memanfaatkan ketidaktahuan salah satu pihak atas harga pasar, manipulasi produk yang diperjualbelikan, penimbunan dan pematokan harga.
Walhasil, keabsahan kepemilikan harta oleh seseorang harus memenuhi dua syarat. Pertama, harta yang dimiliki itu harus halal zatnya. Kedua, harta itu harus diperoleh dengan tatacara perolehan yang dibenarkan syariah. Jika keduanya terpenuhi maka kepemilikannya itu sah.
B.Kepemilikan Umum
Kepemilikan umum adalah izin Asy-Syâri‘ kepada komunitas masyarakat untuk sama-sama memanfaatkan sesuatu. Kepimilikan umum menyangkut tiga jenis: (1) fasilitas umum yang jika tidak ada akan terjadi sengketa dalam mencarinya; (2) barang tambang yang depositnya besar; (3) harta yang pembentukan-nya menghalangi untuk dimiliki individu, seperti sungai, danau, laut, jalan umum, lapangan, masjid, dsb. Harta milik umum ini tidak boleh dikuasai individu atau kelompok. Harta jenis ini harus dikelola negara sebagai wakil umat dan hasil sepenuhnya dikembalikan kepada umat.
C.Kepemilikan Negara
Kepemilikan negara adalah harta yang ditetapkan Allah menjadi hak seluruh kaum Muslim. Wewenang pengelolaannya diserah-kan kepada Khalifah sesuai dengan pandangan-nya. Harta milik negara ini mencakup jizyah, kharaj, ghanîmah, fa’i, warisan yang tidak ada ahli warisnya, khumûs rikâz dan luqâthah, harta orang murtad, harta ghulûl penguasa dan pegawai negara, dan denda sanksi pidana; juga termasuk harta milik negara berupa padang pasir, gunung, pantai dan tanah mati yang belum ada pemiliknya, ash-shawafi, dan semua harta milik negara yang dibebaskan oleh Daulah Islam. Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman].
Catatan Kaki
1 Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab, X/492.
2 Wikipedia.org.